NUSAKATA.COM – Diera digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda. Platform seperti Instagram, TikTok, X (Twitter), dan YouTube menjadi ruang ekspresi, komunikasi, sekaligus pencarian jati diri.
Namun, kemudahan dan kebebasan yang ditawarkan media sosial menyimpan ironi: munculnya krisis etika yang semakin meresahkan.
Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Data dari We Are Social dan Hootsuite (2024) menunjukkan bahwa 98,5% pengguna internet di Indonesia menggunakan media sosial, dan 61,7% di antaranya berusia antara 13 hingga 24 tahun. Sayangnya, tingginya tingkat partisipasi ini tidak diiringi dengan kedewasaan digital yang memadai.
Dalam survei yang dilakukan oleh Kominfo pada tahun 2023, ditemukan bahwa hanya 28% remaja yang memahami pentingnya etika digital dan keamanan siber.
Menurut Dr. Elly Risman, Psi, psikolog keluarga dan pemerhati perkembangan anak dan remaja, “Media sosial itu seperti pisau bermata dua. Ia bisa menjadi alat belajar, tetapi bisa juga menjadi pintu kehancuran moral jika tidak ada pengawasan dan bimbingan.”
Kutipan ini menunjukkan bahwa pentingnya pendampingan terhadap remaja dalam penggunaan teknologi tidak bisa disepelekan.
Krisis etika ini terlihat dari maraknya perilaku tidak pantas yang dipamerkan di media sosial. Salah satu studi kasus yang menjadi perhatian adalah kasus remaja di Jakarta yang memvideokan dirinya melakukan perundungan terhadap temannya dan membagikannya di TikTok. Alih-alih merasa bersalah, pelaku justru merasa bangga karena kontennya menjadi viral.
Ini menunjukkan adanya perubahan cara pandang terhadap nilai benar dan salah di kalangan sebagian generasi muda.
Hal yang sama juga terjadi dalam tren konten “prank” ekstrem, yang tak jarang berujung pada kekerasan atau pelecehan. Misalnya, kasus viral konten prank ojol di Yogyakarta (2022), di mana seorang YouTuber muda mempermalukan mitra ojek online demi konten lucu. Reaksi publik keras, tetapi perhatian terhadap etika di balik konten seperti ini masih minim di kalangan pencipta konten muda.
Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya terletak pada kurangnya digital literacy dan digital ethics. Dalam kajian Prof. Rhenald Kasali, pakar komunikasi dan perubahan, disebutkan bahwa “Generasi muda saat ini terpapar informasi begitu cepat tanpa sempat membentuk filter nilai-nilai.
Maka, tanpa literasi digital dan nilai etis, mereka akan mudah terombang-ambing oleh arus media sosial.” Teknologi berkembang lebih cepat daripada pendidikan karakter yang mereka terima.
Oleh karena itu, pendidikan etika digital harus menjadi prioritas. Sekolah tidak cukup hanya mengajarkan bagaimana menggunakan internet, tetapi juga harus membentuk pemahaman tentang tanggung jawab digital.
Pemerintah melalui Kemendikbudristek telah merilis modul “Etika Digital untuk Pelajar” pada tahun 2023, namun implementasinya masih belum merata di sekolah-sekolah, terutama di daerah.
Orang tua juga memiliki peran sentral. Sayangnya, menurut survei UNICEF Indonesia (2022), hanya 35% orang tua yang secara aktif memantau aktivitas daring anak mereka. Padahal, keterlibatan orang tua dalam pembentukan karakter digital anak adalah benteng utama sebelum anak terjun ke dunia maya.
Di sisi lain, para influencer dan kreator konten juga memegang tanggung jawab moral. Mereka memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pola pikir dan sikap generasi muda. Konten edukatif, inspiratif, dan beretika harus didorong agar menjadi tren, bukan justru konten yang merusak nilai-nilai kemanusiaan.
Dari sudut pandang saya sebagai mahasiswa TI, Media sosial tidak salah, yang perlu diperbaiki adalah cara kita menyikapinya. Generasi muda adalah aset bangsa, dan mereka sedang dibentuk bukan hanya oleh pendidikan formal, tetapi juga oleh apa yang mereka konsumsi secara digital.
Jika kita abai terhadap krisis etika ini, kita akan menuai generasi yang pintar secara teknologi, namun miskin dalam nilai dan empati.
Pendidikan, pengawasan, dan keteladanan adalah tiga kunci utama. Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat pemerintah, keluarga, sekolah, hingga industri digital bekerja sama untuk menciptakan ruang digital yang tidak hanya bebas, tapi juga bermartabat dan beretika.
Penulis : Havid Maulana