Nusakata.com – Pergaulan bebas di kalangan Generasi Z telah menjadi topik yang hangat dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir.
Perubahan sosial yang cepat, kemajuan teknologi, dan akses informasi yang tidak terbatas melalui internet dan media sosial telah membentuk cara generasi muda ini berinteraksi dan berperilaku.
Di Indonesia, fenomena ini sering kali menimbulkan stigma negatif yang dikaitkan dengan perilaku amoral dan degradasi nilai-nilai tradisional. Namun, di balik stigma tersebut, ada realita yang lebih kompleks dan perlu dipahami secara mendalam.
Stigma terhadap pergaulan bebas di kalangan Generasi Z sering kali berkaitan dengan pandangan bahwa mereka lebih cenderung terlibat dalam hubungan seksual pranikah, penyalahgunaan narkoba, dan perilaku menyimpang lainnya.
Media sering kali memperkuat pandangan ini dengan menyoroti kasus-kasus ekstrem yang menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Namun, stigma ini tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan yang ada.
Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2022, sekitar 47% remaja di Indonesia menyatakan pernah berpacaran, tetapi hanya 7% dari mereka yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Data ini menunjukkan bahwa meskipun ada kecenderungan untuk bergaul lebih bebas, tidak semua remaja terlibat dalam perilaku seksual pranikah.
Realita pergaulan bebas di kalangan Generasi Z lebih kompleks daripada sekadar angka-angka. Generasi ini tumbuh di era digital di mana informasi dan budaya dari seluruh dunia mudah diakses.
Mereka lebih terbuka terhadap berbagai pandangan dan gaya hidup, yang kadang-kadang bertentangan dengan norma-norma tradisional. Namun, keterbukaan ini juga membawa peluang untuk pendidikan seksual yang lebih baik dan kesadaran akan kesehatan reproduksi.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh University of Indonesia pada tahun 2023, bahwa remaja yang mendapatkan pendidikan seksual yang komprehensif cenderung lebih memiliki pemahaman yang baik tentang risiko dan cara melindungi diri dari penyakit menular seksual serta kehamilan yang tidak diinginkan.
Penelitian ini juga menemukan bahwa generasi Z lebih cenderung mencari informasi tentang seksualitas dari sumber-sumber yang kredibel, seperti layanan kesehatan dan pendidikan formal, daripada hanya mengandalkan informasi dari teman sebaya atau internet.
Teknologi dan media sosial memiliki peran ganda dalam pergaulan bebas generasi Z. Di satu sisi, media sosial memungkinkan mereka untuk terhubung dengan orang-orang baru dan mengeksplorasi identitas mereka dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di sisi lain, platform ini juga bisa menjadi sumber tekanan sosial dan eksposur terhadap konten yang tidak sesuai.
Berdasarkan laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2023, 80% remaja Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam sehari di media sosial.
Paparan yang tinggi terhadap konten yang mempromosikan gaya hidup bebas dan seksualisasi dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku mereka. Namun, dengan pendekatan yang tepat, media sosial juga bisa digunakan untuk kampanye pendidikan dan kesadaran yang positif.
Stigma dan realita pergaulan bebas di kalangan Generasi Z di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih seimbang dan mendalam. Penting untuk tidak hanya fokus pada perilaku ekstrem yang sering kali diangkat media, tetapi juga memahami konteks sosial, budaya, dan teknologi yang mempengaruhi generasi ini.
Pendidikan seksual yang komprehensif dan pendekatan yang terbuka dapat membantu mengurangi stigma dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang realita yang dihadapi oleh Generasi Z.
Dalam menghadapi tantangan ini, peran keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan remaja secara sehat dan bertanggung jawab.
Penulis : Susanti Mahasiswa Dari Sumbawa