Nusakata.com – Didunia ini ada berbagai macam bentuk negara, tetapi pada prinsipnya, ada tiga model negara.
Pertama: Integralistik, yakni urusan negara, sekalian juga agama. Jadi, seorang kepala negara, sekaligus juga ulama, seperti yang diterapkan di Iran dengan sistem Wilayatul Faqih. Tokoh pemikiran seperti ini antara lain: Jamaludin Al Afgani (w 1897 M) dan Muhamad Abduh (w 1905 M).
Kedua: Sekularistik. Pemisahan antara agama dan negara, seperti Amerika.
Ketiga: Simbolik, yakni, negara yg disitu agama butuh negara dan negara juga butuh agama. Ini seperti model yang dimaksudkan oleh Imam Al Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya “Al Iqtishad fil I’tiqad” yang dia kata sbb:
القران والسلطان توءمان لا يتم احدهما بدون الاخر. القران أس والسلطان حارس فمالاأس له ينهدم ومالاحارس له يضيع.
“Al Qur,an (agama) dan penguasa itu saudara kembar dimana yg satu tdk bisa sempurna tanpa yang lain. Al Qur,an adalah landasan (bagi kehidupan manusia) dan penguasa negara, adalah pelindungnya. Sesuru yang tidak ada landadannya, akan runtuh dan sesuatu yabg tidak ada pelindungnya, akan sia-sia.
Jadi, negara butuh agama utk berpijak pada moral dan agama butuh negara utk pengembangan agama itu sendiri. Ini juga sesuai dengan dasar pemikiran Imam Al Mawardi (w. 448 H)dlm kitabnya “Ahkam Al Sulthoniyah” sebagai pola yang dianut oleh NU.
Pola seperti itu berpandangan bahwa kepemimpinan negara itu merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian, guna memelihara agama dan mengatur dunia, tetapi bukan berarti harus menjadi satu.
Ini mirip yang diterapkan wali songo yang proses islamisasinya tidak formal. Mereka tidak mementingkan kulit dulu tapi justru dari isi, yakni melakukan islamisasi secara kultural tidak lewat politik.
Islamisasi lewat jalur politik pernah diterapkan di Spanyol beberapa abad sebelum era wali songo di Indonesia. Islam pernah berjaya disana selama 700 tahun (711–1609 M) hingga negeri itu melahirkan banyak ulama besar yg terkenal diseantero dunia seperti Ibnu Malik Al Andalusi penyusun kitab “Alfiyah ibnu Malik”, Imam Al Qurtubi, dari Cordoba, penyusun kitab “Tafsir Al Qurtubi” yang terkenal itu, Al Syatibi, penyusun kitab Usul Fiqih “Al Muwafaqat” dan lain-lain.
Tetapi Islam disana hanya lewat politik dimana keislaman difokuskan hanya pada kekuasaan pemerintahannya. Lalu ketika kalah dlm politik, maka umat Islam habis. Sedangkan wali songo di Indonesia dulu, dalam mengembangkan Islam, yang diutamakan adalah orang-orangnya, adapun kekuasaan itu menempel pada orangnya.
Kalau kita baca sejarah, memang NU dahulu pernah berupaya dan berkeinginan untuk mendirikan negara Islam, tetapi karna ternyata tidak memungkinkan, maka dalam muktamarnya di Banjarmasin 1936, disitu para kiyau menggagas NKRI dalam model Darus salam (negara damai), bukan Darul Islam (negara Islam). Negara damai dimasudkan bahwa hukum Islam tidak harus menjadi hukum negara, yang penting, menerapkan ajaran agama disitu tidak ada larangan dari negara.
Kemudian pada th 1954, para kiyai NU dalam musyawarah alim ulama di Bogor, memutuskan bahqa presiden Sukarno (Kepala negara Indonesia), sebagai “waliyul amri al dharuri bil syaukah” yang artinya,
Presiden Sukarno diakui sebagai Penguasa yang bersifat dharurat, demi legalitas proses pengangkatan Wali Hakim dalam pernikahan dan persoalan hukum Islam lainnya, karna Presiden Sukarno belum secara sempurna memenuhi persyaratan secara fiqih.
Karena persyaratan Imam secara sempurna, sebagaimana yang disyaratkan oleh fiqih belum terpenuhi pada diri Presiden Sukarno, maka kekuasaannya bersifat dharuri.
Sedangkan “bis syaukah”, krn secara de facto, Presiden Sukarno adalah satu-satunya orang yang kuat pada waktu itu.
Tindakan seperti itu, bukan berarti NU telah menyimpang dari pedoman Ahlis sunnah wal jama’ah (Aswaja), krn dlm ajaran Aswaja, ada Qaidah Fiqih yg berbunyi:
مالايدرك كله لايترك كله
“Kewajiban yang tidak mungkin bisa dilaksanakan secara utuh/keseluruhan, maka juga tidak boleh ditinggalkan secara keseluruhan”.
Kemudian tentang Pancasila sebagai dasar Negara, pada Munas NU di Situbondo 1983 yang kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU 1984 ditempat yang sama, ormas Islam yang dalam Muktamar ke 27 tersebut memutuskan kembali ke khithah 1926, menyatakan bahwa Pancasila yang menjadi dasar Negara itu, bukanlah Agama dan tdk bisa menempati kedudukan Agama, tetapi sila pertama:
“Ketuhanan yang maha esa”, mencerminkan Tauhid menurut pengertian keimanan umat Islam. Pancasila dianggap merupakan perwujudan upaya umat Islam Indonesia utk menjalankan syari’at agamanya.
Dalam Mukadimah, butir-butir Pancasila dijelaskan sebagai asas organisasi NU. Ini dipertegas dalam pokok-pokok pikiran Khithah 1926 yang secara jelas mencantumkan Pancasila sbg asas organisasi.
Alasan diterimanya asas Pancasila itu, karena kaum muslimin melalui para pemimpinnya, ikut secara aktif dalam merumuskan dasar negara RI. Dan itu menurut hasil Munas, tidak bertentangan dan dapat dibenarkan menurut pandangan Islam. Sedangkan Identitas Islam, dicamtumkan dlm haluan NU yang berakidah Ahlis sunnah wal jama’ah.
Pengajian Nuzulul Qur’an
– Al Qur’an diturunkan pertama kali pada bulan Ramadhan pada lailatul qadr.
(شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ َۚ)
[Surat Al-Baqarah 185]
“Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan al Qur’an sebagai petunjuknya bagi manusia dan penjelas daru petunjuk serta pembeda antara yg haq dan batil”.
– Allah ta’ala berfirman:
( إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ)
[Surat Al-Qadr 1]
“Sesungguhnya kami (Allah) telah menurunkannya (Al Qur’an pada lailatul qadr”.
– Al Qur’an diturunkan dalam dua tahap:
1. Turun dari lauh al Mahfudz ke langit dunia di suatu tempat bernama bait al Izzah. Al Qur’an diturunkan dalam bentuk tulisan langsung 30 juz (jumlatan)
2. Turun dari langit dunia ke bumi kepada Rasulullah shallallahu alayhi wasallam dalam bentuk bacaan Jibril, turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun.
– Ayat yang pertama kali turun adalah al Alaq 1-5.
(بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ * الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ)
[Surat Al-‘Alaq 1 – 5]
– Rasulullah bersabda:
أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَتْ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الْفُرْقَانُ لِأَرْبَعٍ, وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
“Suhuf (lembaran) Ibrahim alaihissalam diturunkan pada awal malam Ramadlan. Taurat diturunkan pada hari keenam dari Ramadlan. Injil pada tiga belas bulan Ramadlan.
lAl Furqan pada hari ke dua puluh empat bulan Ramadlan.” HR Ahmad
– Di Indonesia umumnya mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa al Qur’an diturunkan pada 17 Ramadhan.
Sumber : LD – PCNU Kediri