NUSAKATA.COM – Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-80, masyarakat dihebohkan dengan munculnya fenomena yang tak lazim sekaligus memicu perdebatan: pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece, bergambar tengkorak bertopi jerami, oleh sejumlah warga di berbagai wilayah.
Tanggapan publik pun beragam – ada yang melihatnya sebagai bentuk kreativitas dan ekspresi budaya populer, namun tak sedikit pula yang mengecamnya sebagai tindakan yang menciderai nilai-nilai nasionalisme, bahkan dianggap subversif. Di tengah kontroversi ini, penting untuk menggali lebih dalam: apakah fenomena ini hanya bentuk fanatisme penggemar, atau justru mengandung pesan sosial yang lebih besar?
Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Ia lahir dalam konteks sosial-politik yang tengah bergejolak, ketika kepercayaan rakyat terhadap institusi negara makin melemah. Di tengah peringatan kemerdekaan yang cenderung formalistik – dengan upacara dan perlombaan yang bersifat seremonial – sebagian warga merasa tercerabut dari esensi perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Maka, tak mengherankan jika bendera One Piece, yang dalam kisahnya melambangkan pemberontakan, kebebasan, dan solidaritas kaum tertindas, dipilih sebagai simbol alternatif.
Serial One Piece sendiri bercerita tentang kelompok bajak laut “Topi Jerami” yang melawan kekuasaan tirani dalam sistem pemerintahan dunia fiktif. Mereka bukan kriminal biasa, tetapi tokoh-tokoh yang memperjuangkan keadilan menurut versi mereka sendiri. Tak heran jika banyak masyarakat, khususnya yang hidup dalam ketimpangan dan merasa terpinggirkan oleh sistem, merasa lebih terwakili oleh karakter-karakter idealis ini ketimbang simbol-simbol negara yang dianggap makin jauh dari harapan mereka.
Fenomena ini membawa kita pada pentingnya membaca ulang arah kebijakan negara. Sejumlah kebijakan yang diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir justru memperbesar jurang ketidakadilan dan menjauhkan rakyat dari semangat kemerdekaan yang hakiki.
Pertama, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang dilakukan secara terburu-buru dan minim partisipasi publik, dipandang sebagai bentuk keberpihakan negara kepada investor besar, bukan kepada buruh dan petani. Bukannya menciptakan lapangan kerja yang layak, regulasi ini justru dianggap memperlemah hak-hak pekerja dan memperluas sistem kerja kontrak yang merugikan.
Kedua, lonjakan harga kebutuhan pokok dan energi seperti BBM serta listrik yang tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat, menambah beban ekonomi bagi rakyat kecil. Sementara itu, kelompok ekonomi kuat dan korporasi justru menikmati berbagai insentif dan kemudahan.
Ketiga, wacana revisi konstitusi yang mengarah pada perpanjangan masa jabatan atau penguatan dominasi politik segelintir elit turut menambah kekhawatiran akan semakin menyempitnya ruang demokrasi. Demokrasi prosedural yang hanya menguntungkan elite politik membuat banyak anak muda merasa asing dan tidak punya ruang bersuara.
Dalam konteks ini, pengibaran bendera One Piece bisa dimaknai sebagai bentuk protes simbolik—suatu sindiran terhadap simbol-simbol negara yang dirasa kehilangan makna. Ini bukan bentuk penghinaan terhadap simbol nasional, melainkan seruan untuk menghidupkan kembali makna kemerdekaan secara autentik: menegakkan keadilan sosial, menjamin hak-hak warga, dan memperluas partisipasi publik.
Negara tak seharusnya merespons fenomena ini dengan pendekatan yang keras atau sekadar mengedepankan moralitas. Yang dibutuhkan adalah refleksi dan pembenahan kebijakan. Jika rakyat merasa lebih terwakili oleh bendera bajak laut dibandingkan merah putih, itu pertanda bahwa narasi kebangsaan sedang menghadapi krisis mendalam. Ini bukan sekadar isu nasionalisme, melainkan soal runtuhnya kepercayaan.
Momentum HUT RI ke-80 seharusnya menjadi ajang untuk merefleksikan kembali esensi kemerdekaan sebagai hasil perjuangan rakyat. Bukan sekadar soal mengibarkan bendera, tetapi tentang siapa yang memiliki suara, siapa yang benar-benar merasa merdeka. Barangkali, di balik bendera One Piece yang tampak absurd itu, tersembunyi kritik paling jujur: rakyat sedang ingin merdeka kembali—dari ketimpangan, dari kepalsuan.
Opini ini ditulis oleh Taufik Hidayat, alumni Pascasarjana UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan IKA PMII UIN SMH Banten.