NUSAKATA.COM – BUKBER | Grup WhatsApp itu sudah lama sepi. Namun, entah kenapa, tiap Ramadan, seperti hidup lagi. Seseorang melempar ide, “Gimana kalau kita adain bukber?” Disambut emot senyum, jempol, dan serentetan “Gas!” atau “Ayo banget!”
Tanggal mulai dibahas. Pilihan tempat dikirim. Namun, selalu ada yang sibuk, ada yang berhalangan. Tanggal bergeser, lalu diskusi perlahan meredup. Sampai akhirnya Ramadan berlalu, dan bukber tinggal wacana. Anehnya, tak ada yang kecewa. Seolah-olah niat untuk bertemu sudah cukup, meski tak pernah benar-benar terjadi.
Itulah salah satu fenomena bukber yang hanya jadi wacana. Setiap orang, pasti pernah mengalaminya. Mungkin, ini paradoks bukber masa kini. Kita hidup pada era di mana semua orang sibuk, semua orang punya agenda. Namun, tetap ingin terhubung, walau hanya lewat layar.
Berbicara soal bukber, sebenarnya tradisi ini punya sejarah panjang. Sejak zaman Nabi Muhammad. Dulu, Nabi dan para sahabat biasa berbuka bersama di masjid. Menunya sederhana, sekadar kurma, air, dan kadang roti gandum. Namun, suasananya hangat. Ada rasa kebersamaan.
Dalam buku sejarah Islam, kita juga menemukan banyak kisah tentang kebiasaan kaum Muslim berbagi makanan saat buka puasa. Bukan hanya kepada keluarga, tapi juga kepada fakir miskin, musafir, dan siapa pun yang membutuhkan.
Semangat itulah yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Hingga akhirnya berkembang menjadi tradisi yang lebih kompleks. Mulai dari bukber keluarga besar, reuni teman sekolah, sampai bukber kantor dengan paket all you can eat yang bikin perut lupa batas.
Di Indonesia, bukber sudah menjelma jadi semacam ritual sosial. Setiap Ramadan, undangan bukber datang bertubi-tubi. Grup WhatsApp yang tadinya sepi, mendadak ramai. Dari teman SD, SMP, SMA, kuliah, sampai eks-kantor yang sudah bertahun-tahun tidak bersua.
Bukber menjadi lebih dari sekadar makan bersama. Ia berubah sebagai ajang silaturahmi. Tempat saling bertanya kabar, memamerkan anak-anak yang sudah besar, atau sekadar bernostalgia soal masa-masa remaja.
Uniknya, bukber di Indonesia sering kali punya paket lengkap. Mulai dari acara tadarusan singkat, pembacaan doa bersama, bahkan ada yang diisi santunan, hingga sesi foto bareng sebelum akhirnya bubar jalan. Semua berjalan dengan ritme yang hampir sama.
Namun, tak jarang juga, bukber dijadikan ajang lain. Ajang reuni, ajang pamer, ajang temu kangen mantan, bahkan jujur saja, ajang konten media sosial. Foto makanan, outfit bukber, caption bijak soal Ramadan, semua masuk timeline.
Apakah salah? Tidak juga. Bukber memang punya banyak wajah. Setiap orang berhak memaknainya dengan cara masing-masing. Setiap individu memiliki tradisi. Tergantung sudut pandangnya.
Kadang, kita lupa, bukber bukan soal mahalnya menu atau mewahnya tempat. Ia berangkat dari kesederhanaan. Niat untuk berbagi, saling mendoakan, dan merasa tidak sendirian di bulan penuh rahmat.
Sayangnya, semakin ke sini, makna itu kadang tertutup formalitas. Bukber jadi sekadar checklist. Yang penting foto, yang penting hadir, lalu pulang tanpa benar-benar merasa terhubung.
Padahal, esensi bukber justru terletak pada hal-hal kecil: obrolan ringan, tawa lepas, senyum tulus yang tak perlu filter. Bukber mengingatkan kita bahwa Ramadan bukan cuma soal menahan lapar, tapi juga soal menumbuhkan kepedulian.
Pada akhirnya, bukber merupakan cermin kecil kehidupan kita. Ada yang terjadi, ada yang hanya jadi wacana. Ada yang meriah, ada yang sederhana, tapi semua punya tempat di hati.
Jadi, kalau tahun ini ada satu atau dua undangan bukber yang tak sempat terwujud, tak apa. Karena yang paling penting bukan acara itu sendiri, melainkan rasa ingin bertemu yang tetap ada.
Intinya: kita masih tetap boleh menulis status: Kangen bukber yang hanya wacana!
Ditulis oleh: Subandi Musbah. Direktur Visi Nusantara.