NUSAKATA.COM – Sentrum Mahasiswa Banten (SEMA BANTEN) menggelar audiensi dengan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Pandeglang di ruang opsroom BPKD.
Pertemuan ini diwarnai ketegangan ketika SEMA BANTEN mengungkap data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menunjukkan ketimpangan pengelolaan keuangan daerah. Kamis, (20/02/25).
Dalam laporan resmi, realisasi anggaran yang bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD) dan Bagian Hasil Pajak dan Retribusi Daerah (BPHRD) telah terserap sejak 2024, namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Salah satu temuan utama adalah belum dibayarkannya Siltap staf desa sebesar 10% yang dibebankan dari BPHRD, sementara dalam laporan keuangan dana tersebut telah dicairkan.
Ketua BPKD Pandeglang, Yahya, berdalih bahwa keterlambatan pembayaran Siltap 2024 serta hangusnya Siltap 2023 disebabkan oleh tidak terserapnya pendapatan pajak dan retribusi Daerah secara penuh.
Namun, dalih tersebut semakin dipertanyakan ketika dalam audiensi ini terungkap adanya anggaran sebesar Rp 4,1 miliar yang telah diserap BPKD dan direalisasikan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD).
Dana tersebut dialokasikan untuk kegiatan Pelatihan Pemberdayaan Lembaga Desa, yang mencakup pengadaan rompi untuk RT/RW dan Kader Desa.
Ketika SEMA BANTEN menuntut kejelasan teknis atas program tersebut, Yahya justru menyatakan ketidaktahuannya dan mengarahkan pertanyaan kepada DPMPD.
Situasi semakin panas ketika SEMA BANTEN terus menggali lebih dalam, hingga akhirnya audiensi dihentikan secara mendadak dengan alasan Yahya menerima tiga kali panggilan dari Sekretaris Daerah, Alifahmi.
Sikap ini semakin memperkuat dugaan bahwa terdapat skema manipulatif dalam pengelolaan keuangan daerah.
Aditia Iksan Nurohman, Presidium SEMA BANTEN, menyebut kasus ini sebagai bentuk predasi struktural yang menempatkan aparatur desa sebagai korban dari birokrasi yang korup.
Ia menegaskan bahwa keterlambatan dan penghangusan pembayaran Siltap bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi bagian dari pola lama yang terus berulang tanpa ada perlawanan hukum.
“Ini bukan hanya tentang keterlambatan pembayaran, tetapi tentang bagaimana negara secara sistematis menggerus hak rakyat,” Ucapnya.
Kata Adit, Sementara, anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi aparatur desa tidak terealisasi, dana miliaran rupiah justru dialihkan ke proyek-proyek dengan transparansi yang dipertanyakan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Masyarakat Pandeglang melalui SEMA BANTEN akan melawan korupsi sistemik ini,” tegas Aditia.
Senada dengan itu, Iding Gunadi Turtusi, Pembina I SEMA BANTEN, menilai praktik ini sebagai bentuk perversi kekuasaan, di mana birokrasi yang seharusnya menjadi alat pelayanan publik malah berubah menjadi mesin ekstraksi keuangan untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Jika ada dana yang hilang tetapi tidak ada yang bertanggung jawab, maka ini bukan lagi kelalaian teknis, melainkan kesengajaan struktural,” Pungkasnya.
Menurut Iding, Pandeglang tidak boleh terus menjadi ladang eksploitasi fiskal bagi elite lokal.
“Jika tidak ada pertanggungjawaban yang jelas, kami akan menempuh jalur hukum,” ujarnya.
SEMA BANTEN menegaskan bahwa audiensi ini hanyalah langkah awal. Mereka berkomitmen untuk mengumpulkan lebih banyak bukti dan mengajukan langkah hukum guna membongkar skema korupsi yang telah menjadi penyakit akut dalam tata kelola keuangan daerah di Pandeglang.***