Ramadan, Mendidik Jiwa dan Raga
Oleh : Eko Supriatno
Nusanews.co
Puasa bukan hanya sekedar ritual bukber, sahur on the road, dan karnaval makan enak.
Beragama di kita, memang baru sebatas simbol, substansinya masih sangat jauh.
Puasa dan bukber mesti difasilitasi, jika tidak dianggap, disebutnya tak islami.
Sahur dibisingin, takut dianggap lupa puasa.
Sahur itu bukan hanya sekedar makan lalu berpuasa. Substansi sahur selain ketaatan adalah bangun pagi, dan ini sangat berat!!!
Ada substansi yang bernilai ibadah dalam makan sahur. Ibadah yang amat personal, dirayakan jadi ibadah publik. Kalau jamaah sholat fardhu, memang sepantasnya digaungkan. Ini masuk syiar. Tapi yang sunah-sunah, selayaknya jadi hal-hal private, disembunyikan.
Simbol puasa jadi alasan santai dan malas. Miris. Padahal sejatinya agama menginspirasi untuk maju, kerja keras dan cerdas.
Ada filosofi puasa yang sangat viral dari tahun ke tahun : sahur sebanyak mungkin, tidur selama mungkin, buka serakus mungkin.
Substansi puasa bukanlah hanya ritual usang, tetapi menjalankan ibadah seperih mereka yang tidak punya apa-apa dan kesungguhan beribadah yang kejujurannya hanya Allah yang tahu, karena puasa itu semestinya hanya untuk-Ku kata Allah.
Umat Islam perlu meneguhkan diri dan tidak menjadikan bulan puasa semata hanya sebuah kewajiban rutinitas yang berpeluang dapat dianggap sebagai sebuah beban.
Ibadah puasa jangan hanya jadi rutinitas. Bulan Suci Ramadan harus ada nilai lebih yang didapatkan.
Ramadhan, Mendidik Jiwa dan Raga
Menurut penulis, setidaknya ada 4 (Empat) pesan dalam tulisan ‘Ramadan, Mendidik Jiwa dan Raga” ini:
Pertama, mendidik spiritualitas. Puasa dalam pemahaman Agama Islam tidak hanya sebatas menahan lapar dan dahaga, melainkan juga sebagai cara mendidik spiritualitas.
Ibadah puasa Ramadan bukan sekadar tradisi rutinitas religiusitas semata, tetapi proses memperbaiki diri guna menjadi manusia lebih bertaqwa kepada Allah SWT dan semakin bermanfaat bagi manusia.
Selain itu, puasa juga sebagai sarana bagi manusia untuk meningkatkan kepekaan sosial, menahan amarah, dan seterusnya.
Puasa Ramadan di samping kewajiban sebulan penuh bagi seorang muslim menjalankannya, tidak sekadar puasa dari berlapar-lapar dan rasa haus seharian. Tapi juga seluruh raga, mata, mulut, dan seluruh organ tubuh ikut berpuasa.
Ramadan juga perlu dijadikan sebagai momentum untuk mendidik diri sendiri agar mendapatkan hikmah dari ibadah puasa.
Kedua, mendidik karakter. Secara sekilas, ibadah puasa Ramadan memang rutin diwajibkan setiap tahun terhadap seluruh umat Islam di belahan dunia.
Bagi penulis, ibadah puasa yang berlangsung selama satu bulan penuh tersebut memiliki dimensi vertikal dan horizontal dalam pembentukan karakter umat Islam.
Dalam dimensi vertikal, umat Islam dilatih untuk selalu memiliki pengorbanan dan ketaatan terhadap agama, seperti menahan lapar dan hawa nafsu seperti diperintahkan Allah SWT.
Dengan berbagai larangan yang dapat membatalkan ibadah puasa, Ramadan juga melatih seluruh umat Islam agar dapat menyadari bahwa segala perbuatannya akan diketahui Allah SWT.
Latihan religius itu memberikan pengaruh terhadap dimensi horizontal dengan tujuan agar seluruh umat Islam dapat memiliki kepedulian sosial dan tidak melakukan segala perbuatan yang diharamkan agama.
Ketiga, mendidik kepedulian sosial. Seharusnya, umat Islam yang memiliki kemampuan ekonomi layak bersyukur karena penderitaan fisik tersebut hanya sebentar disebabkan telah diperbolehkan lagi menikmati makanan dan minuman ketika tiba masa berbuka puasa.
Umat Islam harus menyadari bahwa penderitaan fisik itu justru dialami kaum fakir miskin sepanjang hidupnya karena memiliki keterbatasan ekonomi untuk membeli makanan dan minuman yang dibutuhkan.
Melalui latihan dengan merasakan langsung penderitaan kaum fakir miskin itu melalui ibadah puasa, seharusnya umat Islam yang mempunyai kemampuan ekonomi dapat memiliki kepedulian sosial.
Keempat, mendidik kejujuran. Kemudian, efek horizontol dari puasa Ramadan lainnya adalah ketidakberanian setiap umat Islam untuk melakukan perbuatan yang dilarang agama meski tidak diketahui orang lain.
Dalam Ramadan, umat Islam dituntut kejujurannya karena tidak ada satu pun manusia yang dapat menilai secara pisik tentang kriteria orang-orang yang berpuasa.
Seseorang dapat mengelabui orang lain dengan mengaku masih berpuasa meski secara sembunyi-sembunyi telah melakukan perbuatan yang membatalkan seperti makan dan minum.
Dalam aspek sosial, seseorang yang melaksanakan puasa dengan penuh keimanan, tidak akan pernah mau melakukan perbuatan tercela seperti mencuri, korupsi dan tindakan lain yang dilarang agama meski tidak diketahui manusia lainnya.
Spirit Ramadan
Spirit Ramadan harus selalu terjaga mewarnai kehidupan sehari-hari di luar bulan Ramadan.
Jika itu bisa dilakukan, maka ia seolah sedang berpuasa Ramadan, meski Ramadan telah jauh meninggalkannya. Ia terus berasyik masyuk dengan Ramadan, karena begitu kuatnya Ramadan mempengaruhi perangainya.
Semacam ikatan yang tersambung yang sulit untuk dipisahkan. Itulah mereka yang berpuasa di bulan Ramadan tidak sekadar rutinitas tahunan semata.
Itu bukan perkara mudah mempuasakan jiwa raga seluruhnya. Tidak sekadar perut saja yang lapar, kerongkongan yang haus, tapi seluruh raga juga ikut berpuasa dari hal-hal terlarang. Dan hanya memuliakan perbuatan-perbuatan baik yang disunnahkan.
Puasa itu ajaran yang langsung mengingatkan, bahwa lapar dan haus itu menyiksa. Meski menahan lapar dan haus hanya sekitar dua belas jam, itu melelahkan.
Dan itu sebagai ibrah agar nilai kemanusiaan kita terbangun saat melihat masyarakat sekeliling yang didera kelaparan karena kesulitan hidup.
Mereka yang kesulitan hidup itu hampir tiap hari berpuasa menahan lapar dan haus. Puasa mengajarkan itu semua, yang memunculkan empati antarmanusia untuk selalu berbagi.
Puasa menghapus sifat egoistik mementingkan diri sendiri, tanpa melihat kesulitan yang dialami lingkungan sekitar.
Lapar dan hausnya saat berpuasa adalah ajaran yang langsung dirasakan semua muslim dengan tingkat strata sosial berbeda. Tidak memandang perbedaan kelas, baik kaya maupun miskin, semua diwajibkan berpuasa.
Maka selama Ramadan, orang miskin rasanya sudah tidak ditemukan. Masjid-masjid, bahkan mushola-mushola di pelosok negeri, menyediakan ta’jil atau ifthar, buat jamaah yang hadir.
Bukan cuma kurma dan air mineral, tapi juga nasi kotak dengan menu cukup mewah, bahkan terkadang ditambah dengan es degan segar, semata guna memanjakan mereka yang kurang beruntung, atau musafir yang shalat di masjid itu.
Bahkan selama 10 hari terakhir di bulan Ramadan, banyak masjid mengadakan qiyamul-lail, dan sekitar pukul tiga dini hari hidangan makan sahur disediakan untuk para jamaah yang ada.
Sungguh suasana semarak Ramadan tampak memuliakan mereka yang tengah berpuasa, dan terutama bagi mereka yang kurang beruntung.
Juga bagaimana rasa riangnya bagi mereka saat zakat, infaq dan sedekah disebar pada mereka yang berhak di bulan suci ini. Bagi mereka itu semacam bonus tahunan, yang didapat setiap Ramadan. Senang melihat wajah-wajah mereka yang sumringah saat menerima zakat. Baginya puasa Ramadan beda dengan puasa “kehidupan” di setiap harinya, yang tentunya serba kekurangan.
Itulah sedikit hikmah dari ramadan, mendidik jiwa dan raga. Tentu banyak hikmah lainnya yang bisa ditemukan.
Terpenting, kita bisa mengambil pelajaran dari hikmah yang ada, dan dituntut menjalankannya bukan hanya sekedar ritual usang.
Tentang penulis:
Eko Supriatno
Intelektual Entrepreneur, Pengurus ICMI Orwil Banten, Pengurus IDRI Provinsi Banten, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten.