Menu

Mode Gelap
 

Penyebab Hati Tetap Gelisah Meski Telah Rajin Beribadah

- Nusakata

28 Nov 2024 12:15 WIB


					Penyebab Hati Tetap Gelisah Meski Telah Rajin Beribadah (Ilustrasi : Gambar Dikembalikan sepenuhnya ke pemilik) Perbesar

Penyebab Hati Tetap Gelisah Meski Telah Rajin Beribadah (Ilustrasi : Gambar Dikembalikan sepenuhnya ke pemilik)

Nusakata.com – Dalam istilah sebuah cerita, dikisahkan dalam perjalanan ulama terdahulu, kisah tersebut menjadi sumber pengetahuan.

Di samping seorang Shufi, Abu Yazid Al Busthami juga adalah pengajar Tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak.

Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan keshalihannya, seperti baju putih, sorban, dan wewangian tertentu.

Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Abu Yazid :“Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”

Abu Yazid menjawab : “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.” Kata Abu Yazid

Murid itu heran: “Mengapa, ya Tuan Guru?”

“Karena kamu tertutup oleh dirimu”. Jawab Abu Yazid.

“Bisakah kamu obati aku agar hijab itu tersingkap?” Pinta Sang murid.

“Bisa…!” Ucap Abu Yazid, “Tetapi kamu takkan melakukannya.”

“Tentu saja akan aku lakukan”. Sanggah murid itu.

“Baiklah kalau begitu”. Kata Abu Yazid.
“Sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping.

Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana.

Katakan pada mereka, “Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka: “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”

“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah”. Kata murid itu terkejut.

Abu Yazid berkata: “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.”

Murid itu keheranan: “Mengapa bisa begitu?”

Abu Yazid menjawab: “Karena kelihatannya kamu sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kamu sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: “Tuhan Maha Suci, seakan-akan kamu mensucikan Tuhan padahal kamu menonjolkan kesucian dirimu.”

“Kalau begitu…” Murid itu kembali meminta: “Berilah saya nasihat lain”.

Abu Yazid menjawab: “Bukankah aku sudah bilang, kamu takkan mampu melakukannya!”

Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Abu Yazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur.

“Hati-hatilah kalian dengan ujub”. Pesan Iblis.

Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.

Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita.

Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia.

Abu Yazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu’ dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai kehadirat Allah SWT.

Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak.

Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam: “Yaa Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?”

Nabi menjawab, : ”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian beristiqamahlah kamu.”

Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan.

Ia menganggap ibadat sebagai investasi. Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat.

Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat dan ahli dzikir, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.

Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya.

“Suatu hari, di depan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Sayyidina Abu Bakar menceritakan seorang shahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang.

Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para shahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh shahabat yang lain agar mengikuti shahabat ahli ibadat itu.

Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam.

Sayidina Abu Bakar berkata kepada Nabi. “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah.”

Nabi hanya berkata: “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.”

Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya. “Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling shalih di majelis itu?”

Shahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.

Setelah itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada para shahabat: “Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?”
“Aku”. Jawab Abu Bakar.

Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.”

Nabi tetap bertanya: “Siapa yang mau membunuh orang itu?”

Umar bin Khaththab menjawab: “Aku.”
Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu.

“Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?”

Nabi masih bertanya:
“Siapa yang akan membunuh orang itu?”

Imam Ali bangkit: “Aku.”
Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah.
“Ia telah pergi, ya Rasulullah.”

Nabi kemudian bersabda: “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku”.

Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah:

Selama di tengah-tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling shalih, paling berilmu dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin.

Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal shalih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam.

Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Abu Yazid Al-Busthami kepada santrinya.

Perbaiki diri bukan untuk di puji, bukan juga karena ingin dekat kepada seseorang, apalagi ada maksud tertentu. ***

 

Sumber : Kajian Kitab Turats Ulama ASWAJA

Baca Lainnya

Merangkul Semua Kalangan, Hadirilah Risalah Cinta, Penggagas Kiyai Haji Sofiyallah Muhajir, Di Alun-alun Malingping

6 July 2025 - 11:21 WIB

KKM Kelompok 21 Universitas Primagraha Gelar Program CALISTUNG untuk Anak-Anak di Desa Pipitan

5 July 2025 - 16:35 WIB

Puisi Jalaludin Rumi “Cinta dalam Diam”

4 July 2025 - 11:22 WIB

PC IPNU IPPNU Pandeglang Gelar Turba Ke-4 di Kecamatan Cisata, Perkuat Sinergi Organisasi Pelajar NU

29 June 2025 - 19:49 WIB

Semarak 1 Muharram 1447 H, Langit Cigadung Mandiri Dihiasi Cahaya Doa dan Sholawat

29 June 2025 - 13:05 WIB

BRI BO Cilegon Salurkan Paket Pendidikan untuk Yatim Piatu di Bulan Suci Muharram

29 June 2025 - 11:21 WIB

Trending di Hiburan