NUSAKATA.COM – Dalam dinamika sosial kekinian, fenomena kenakalan remaja menjadi sorotan serius. Di tengah keresahan ini, muncul kebijakan unik dari Kang Dedi Mulyadi (KDM), tokoh politik dan budaya asal Jawa Barat, yang memilih langkah berbeda dari pendekatan formal pendidikan: mengirim remaja bermasalah ke barak semi-militer.
Di tempat ini, para remaja dibentuk melalui pola hidup disiplin, rutinitas, dan nilai tanggung jawab. Pendekatan ini tidak hanya menuai apresiasi, tetapi juga kritik, terutama ketika ditinjau dari perspektif Hukum Tata Negara, khususnya terkait hak konstitusional anak dan batas kewenangan pejabat publik.
1. Dialog KDM dengan Remaja: Potret Krisis Sosial Keluarga
Dalam salah satu dokumentasi publik, Kang Dedi berdialog langsung dengan seorang remaja wanita peserta program. Saat ditanya penyebab ia masuk barak, sang remaja menjawab:
“Siap! Minuman keras, suka minum koakoa sama intisari seminggu dua kali!”
Ia bahkan menyebut bahwa uang untuk membeli minuman tersebut berasal dari uang jajan yang diberikan orang tuanya. Ketika ditanya mengenai kenyamanan di barak, ia menjawab dengan jujur:
“Siap, nyaman banget! Daripada di rumah, ibu sama bapak bertengkar terus, berisik!”
Respons KDM pun mencerminkan empati sekaligus tindakan:
“Nanti saya panggil orang tua kamu, supaya nggak ribut terus.”
2. Perspektif Hukum Tata Negara: Apakah Ini Diskresi yang Sah?
Dari sudut Hukum Tata Negara, tindakan KDM menempatkan remaja ke barak semi-militer perlu diuji melalui prinsip legalitas. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan Indonesia adalah negara hukum, di mana setiap kebijakan pejabat publik harus berbasis hukum dan tidak melanggar hak warga negara. Diskresi pejabat publik yakni kebebasan mengambil keputusan dalam ruang abu-abu hukum harus dilakukan dengan:
1. Tujuan sah
2. Tidak menyalahgunakan kewenangan
3. Tidak melanggar hukum yang lebih tinggi
4. Proporsional dan akuntabel
Jika program ini dilakukan sebagai inisiatif sosial pribadi KDM tanpa menggunakan instrumen negara secara resmi, maka kebijakan ini masuk dalam ruang sosial. Namun, bila melibatkan struktur pemerintahan atau dana publik, maka kebijakan ini wajib tunduk pada aturan dan prosedur formal.
3. Hak Anak dan Konstitusi: Antara Disiplin dan Martabat
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menjamin bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan yang tidak manusiawi.
Maka dari itu, program pendidikan karakter di barak tidak boleh mengandung elemen kekerasan, tekanan psikologis, atau perlakuan yang merendahkan martabat anak. Penegakan disiplin harus dibingkai dalam pendekatan rehabilitatif, bukan represif. Dalam konteks Hukum Tata Negara, ini berkaitan langsung dengan perlindungan hak konstitusional anak.
4. Misi KDM: Bukan Menghukum, tapi Membentuk Karakter
Menurut pernyataan KDM, barak bukanlah tempat untuk menghukum:
“Kamu nyaman tidak di sini..? Kenapa nyaman..?”
“Karena di sini tidak ada orang tua yang bertengkar.”
Hal ini menunjukkan bahwa masalah kenakalan remaja bukan semata soal individu, tapi kegagalan sistem—keluarga, pendidikan, dan masyarakat. KDM juga menekankan pentingnya menyalurkan bakat remaja pasca pembinaan:
“Tetap salurkan bakat kalian masing-masing.”
Ini menunjukkan bahwa misi KDM bukan sekadar “menghukum”, melainkan membentuk kembali pola pikir dan perilaku remaja yang kehilangan arah.
5. Evaluasi dalam Kerangka Tata Negara
Langkah KDM dapat dibaca sebagai bentuk kekosongan kebijakan negara dalam menangani kenakalan remaja secara integratif. Namun dalam kerangka Hukum Tata Negara, kita tidak bisa hanya mengandalkan figur tunggal tanpa regulasi. Negara harus:
1. Menyediakan ruang pendidikan karakter berbasis hak anak
2. Memastikan pendekatan sosial dan hukum tidak bertentangan dengan konstitusi
3. Menyusun sistem pembinaan remaja berbasis keluarga, pendidikan formal, dan komunitas
Tanpa kebijakan yang sistematis dan berbasis hukum, pendekatan personal seperti militerisasi anak-anak remaja bisa berpotensi bertentangan dengan asas hukum dan HAM.
Kebijakan pendidikan karakter berbasis barak ala Kang Dedi Mulyadi menawarkan pendekatan alternatif dalam membina remaja. Namun dalam perspektif Hukum Tata Negara, kebijakan tersebut harus dibingkai dalam prinsip legalitas, perlindungan hak anak, dan batas diskresi pejabat publik.
Kita butuh generasi muda yang tangguh, tetapi dibentuk dalam kerangka sistem hukum yang manusiawi dan konstitusional. Negara harus hadir bukan hanya saat remaja bermasalah, tetapi sejak awal, melalui sistem yang adil dan berpihak pada tumbuh kembang anak.
Artikel by : Nurlaela