NUSAKATA.COM – Di berbagai sudut kampung maupun pinggiran kota, pemandangan tumpukan sampah yang dibakar masih menjadi hal lumrah. Seperti dalam gambar yang kami abadikan, terlihat sampah plastik, dedaunan kering, hingga berbagai kemasan makanan dibakar begitu saja di lahan terbuka.
Padahal, praktik ini tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat dan kualitas udara.
Masyarakat kerap menganggap pembakaran sampah sebagai solusi paling mudah dan cepat untuk mengatasi masalah sampah rumah tangga. Minimnya fasilitas tempat pembuangan sampah dan keterbatasan armada pengangkutan membuat warga memilih membakar sampah daripada membiarkannya menumpuk.
Sayangnya, cara ini justru menghadirkan ancaman baru bagi lingkungan sekitar.
Asap hasil pembakaran sampah, khususnya yang mengandung plastik dan bahan kimia, melepaskan zat berbahaya ke udara seperti dioksin dan furan.
Zat-zat ini bisa memicu gangguan pernapasan, iritasi mata, hingga penyakit yang lebih serius seperti kanker. Lebih dari itu, sisa abu pembakaran bisa mencemari tanah dan air, merusak ekosistem mikro di sekitarnya.
Dari perspektif ilmu kewarganegaraan, persoalan ini bukan sekadar masalah lingkungan semata, tetapi juga menyangkut hak dan kewajiban warga negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28H ayat (1), menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Praktik membakar sampah secara sembarangan jelas bertentangan dengan amanat konstitusi tersebut, karena mengancam hak orang lain untuk menikmati udara bersih dan lingkungan yang layak.
Di sisi lain, warga negara juga memiliki kewajiban untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini sejalan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang demi kepentingan umum, ketertiban, dan moralitas.
Artinya, setiap tindakan warga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain, termasuk dalam hal pengelolaan sampah.
Sayangnya, kesadaran sebagian masyarakat masih minim. Banyak yang beranggapan selama sampah tidak terlihat di depan rumahnya, masalah dianggap selesai. Pola pikir inilah yang harus segera diubah melalui edukasi dan pembinaan dari pemerintah daerah serta tokoh masyarakat setempat.
Selain itu, peran pemerintah juga sangat penting. Fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, penyediaan tempat pembuangan sementara (TPS), serta penertiban terhadap pembakaran sampah liar perlu diperkuat. Sosialisasi tentang dampak negatif membakar sampah, baik dari aspek kesehatan maupun hukum, harus terus digencarkan.
Pemerintah desa maupun kelurahan bisa berkolaborasi dengan karang taruna, sekolah, dan organisasi masyarakat untuk membuat program bank sampah, pelatihan pengolahan sampah organik, hingga pemanfaatan sampah plastik menjadi barang daur ulang.
Masyarakat juga bisa memulai dari langkah kecil seperti memisahkan sampah organik dan anorganik, mengompos sampah dapur, atau bekerja sama dalam pengangkutan sampah ke TPS resmi. Jika setiap warga memiliki kepedulian terhadap kebersihan lingkungan, maka kebiasaan buruk seperti membakar sampah bisa perlahan ditinggalkan.
Kesadaran akan pentingnya lingkungan bersih dan sehat bukan hanya bentuk tanggung jawab moral, tetapi juga bagian dari implementasi nilai-nilai kewarganegaraan yang baik. Karena pada dasarnya, lingkungan yang bersih adalah hak bersama, dan menjaganya adalah kewajiban setiap warga negara.
Akhir kata, mari kita sudahi budaya membakar sampah. Karena udara bersih dan lingkungan sehat bukan hanya untuk kita saat ini, tapi juga untuk generasi yang akan datang.
Salam penulis : Rio Aditya Pratama