NUSAKATA.COM – Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, ada beberapa cara untuk melengserkan Bupati/Kepala Daerah jika cara kinerjanya dianggap Buruk. Cara-cara tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan lainnya yang relevan.
Pertama : Pemberhentian karena Pelanggaran Berat
Jika bupati melakukan pelanggaran berat seperti tindak pidana korupsi, terorisme, makar, atau tindak pidana lainnya yang diancam hukuman penjara paling singkat 5 tahun. Maka, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian bupati kepada Mahkamah Agung (MA) untuk diperiksa. Jika terbukti, MA akan mengumumkan keputusannya, dan selanjutnya bupati akan diberhentikan oleh Presiden.
Mosi tidak percaya adalah langkah politik yang dapat dilakukan oleh DPRD. Jika DPRD menilai Bupati tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, mereka dapat mengadakan rapat paripurna untuk mengajukan mosi tidak percaya.
Jika disetujui oleh minimal 2/3 anggota DPRD, bupati harus diberi waktu untuk memperbaiki kinerjanya. Jika tidak ada perbaikan, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepada Presiden.
Ketiga : Pemberhentian karena Kinerja Buruk
Jika Bupati tidak mampu melaksanakan tugasnya dan menyebabkan kerugian bagi daerah, masyarakat dapat mengajukan petisi kepada DPRD. Jika petisi tersebut didukung oleh minimal 10% dari jumlah penduduk yang memiliki hak pilih, DPRD dapat membentuk panitia khusus untuk menyelidiki. Jika terbukti, DPRD akan mengajukan usulan pemberhentian kepada Presiden.
Keempat : Pemberhentian oleh Mahkamah Agung
Jika bupati diberhentikan oleh DPRD, ia dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika Bupati melanggar undang-undang dan aturan, Mahkamah Agung dapat mengeluarkan putusan untuk memberhentikannya. Keputusan MA bersifat final dan mengikat.
Semua proses ini harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku, untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adil, sah, dan sesuai dengan aturan.
Penulis : Agus Hidayat (Ketua Ikatan Mahasiswa Angkatan Muda Siliwangi Provinsi Banten)