Nusakata.com – Imam Al Ghazali adalah ulama besar berasal dari negeri Thus. Sebagaimana para penduduk Thus lainnya, pada masa mudanya ia belajar ilmu di Naisabur dan Gurgan (kini, wilayah Iran).
Bertahun-tahun ia belajar kepada ulama2 dan orang-orang alim setempat.
Setelah bertahun-tahun belajar, akhirnya Al Ghazali berencana untuk pulang kekampung halamannya. Ia ikut rombongan/kafilah yang akan pergi kekampungnya dengan membawa banyak catatan-catatan dari hasil belajarnya selama bertahun-tahun itu.
Ditengah jalan, kafilah itu dihadang oleh segerombolan perampok. Mereka mengambil setiap barang yang dijumpai. Pada giliran barang-barang bawaan Al Ghazali, ia berkata kepada para perampok tersebut, “Kalian boleh ambil semua barang-barangku, tapi tolong jangan kalian ambil yang satu ini.” Pintanya
Gerombolan perampok tersebut menduga barang yang dimaksud itu adalah barang-barang yang bernilai. Secepat kilat, merekapun merebut dan membukanya.
Mereka tidak melihat apa-apa kecuali setumpukan kertas-kertas yang penuh dengan tulisan-tulisan hitam.
“Apa ini ?”. Untuk apa kau menyimpannya ?”, tanya para perampok itu.
“Itulah barang-barang yang tak akan berguna bagi kalian, tetapi sangat berguna bagiku”. Jawab Al Ghazali.
“Apa gunanya ?”
“Ini adalah hasil pekerjaanku selama beberapa tahun, jika kalian merampasnya dariku, maka ilmuku akan habis dan usahaku yang bertahun-tahun itu akan sia-sia”, jawab Al Ghazali.
“Hanya ada dalam lembaran-lembaran inikah ilmumu ?”, tanya salah seorang perampok sambil tertawa.
“Ya”, Jawab Al Ghazali.
“Ilmu yang disimpan dalam bungkusan dan dapat dicuri, sebenarnya bukanlah ilmu. Pikirkanlah nasib dirimu baik-baik”.
Ucapan sederhana yang keluar dari mulut perampok tersebut betul-betul mengguncangkan jiwa dan kesadaran Al Ghazali.
Ia yang sampai saat itu masih berpikir untuk sekedar mencatat ilmu dari para gurunya di buku-buku tulis saja, seketika menjadi berubah pikiran, yakni ketika sampai dirumah, ia berusaha melatih otaknya lebih banyak, mengkaji dan menganalisa, lalu menyimpan ilmu-ilmu yang bermanfaat itu di buku otaknya.
Ia berkata, “Sebaik-baik nasehat yang membimbing kehidupan intelektualitasku adalah nasehat yang kudengar dari mulut seorang perampok.” Kata Ghozali
Memang benar. Al Ghazali dikemudian hari menjadi orang yang sangat ‘alim yang menguasai banyak ilmu diluar kepala.
Kitab “Ihya ulumiddin” adalah hasil karyanya yang ia tulis ketika ia dalam keadaan mengembara keberbagai negeri. Sudah barang tentu ditulis dari bekal ilmu yang dimilikinya diluar kepala.
Dikutif dari Sumber : KH. Busyrol Karim Abdul Mughni (Rois syuriah PCNU Kabupaten Kediri)