Menu

Mode Gelap
 

Meningkatnya Peran AI dalam Kehidupan Sehari-hari

- Nusanews.co

12 Jun 2025 17:00 WIB


					Meningkatnya Peran AI dalam Kehidupan Sehari-hari (Ilustrasi AI/Ist) Perbesar

Meningkatnya Peran AI dalam Kehidupan Sehari-hari (Ilustrasi AI/Ist)

NUSAKATA.COM – Tanpa banyak disadari, kecerdasan buatan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Mulai dari rekomendasi tontonan di platform streaming, chatbot layanan pelanggan, hingga sistem rekrutmen berbasis algoritma—AI hadir bukan lagi sebagai alat bantu, tapi sebagai pengambil keputusan.

Bahkan di sektor pemerintahan, penggunaan AI untuk pengawasan lalu lintas, pengelolaan data kependudukan, dan prediksi kriminalitas mulai diuji coba.

Namun, alih-alih disambut dengan kesiapan, mayoritas warga hanya menjadi penonton dalam transformasi ini. Sebagian besar tidak menyadari bagaimana AI bekerja, apa yang dikumpulkan dari mereka, atau bagaimana keputusan yang memengaruhi hidup mereka diambil oleh sistem otomatis. Fenomena ini berbahaya.

Ketika teknologi berkembang lebih cepat dari pemahaman publik, lahirlah kesenjangan digital—bukan hanya soal akses, tapi juga soal kesadaran dan kontrol.

Lantas, bagaimana jika suatu hari algoritma menolak kita untuk mendapat layanan publik karena “data tidak sesuai kriteria”? Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang mengawasi? Inilah masalah nyata yang masih samar dalam kesadaran kolektif warga negara Indonesia.

 

Tantangan Etika dan Hak Warga Negara di Era AI

Kehadiran AI bukan hanya soal kecanggihan, tetapi juga soal kekuasaan. Di balik setiap algoritma, ada keputusan yang bisa berdampak langsung pada kehidupan manusia—dan di sinilah letak persoalan etisnya.

Apakah adil jika sistem yang tidak transparan menentukan siapa yang mendapat bantuan sosial? Apakah aman jika data biometrik kita digunakan tanpa persetujuan yang benar-benar sadar?

Etika digital menjadi medan baru yang belum banyak dipahami, apalagi diterapkan secara luas di Indonesia. AI dapat membawa bias jika dilatih dengan data yang tidak seimbang. Ia bisa memperkuat diskriminasi tanpa kita sadari.

Misalnya, sistem rekrutmen otomatis bisa saja menolak pelamar dari daerah tertentu hanya karena pola data historis. Dalam konteks ini, AI bukan lagi alat netral, tetapi bisa menjadi alat diskriminatif.

Lebih jauh lagi, warga negara juga menghadapi ancaman terhadap hak dasarnya: hak atas privasi, hak untuk tahu, hak untuk didengar. Ketika AI digunakan oleh negara atau perusahaan besar tanpa mekanisme kontrol yang kuat, warga bisa dengan mudah menjadi korban “ketidaktahuan digital”.

Tidak semua orang sadar bahwa data pribadi mereka adalah aset berharga yang bisa disalahgunakan, diperjualbelikan, atau bahkan dimanipulasi untuk tujuan tertentu.

Tantangan ini menuntut lebih dari sekadar adaptasi teknologi. Ini adalah panggilan untuk membangun kesadaran digital dan budaya etika yang kuat di kalangan masyarakat. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi objek dari revolusi teknologi—bukan subjek yang berdaulat.

Membangun Kesadaran dan Peran Aktif Warga Negara

Menghadapi gelombang besar kecerdasan buatan bukan berarti kita harus menyerah pada nasib yang ditentukan mesin. Sebaliknya, justru di sinilah peran warga negara menjadi sangat penting. Kesadaran akan hak digital, etika penggunaan teknologi, dan partisipasi aktif dalam pengawasan menjadi kunci untuk menjaga agar AI tetap berada dalam kendali manusia—bukan sebaliknya.

Pendidikan digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Masyarakat harus dibekali dengan pemahaman tentang bagaimana data mereka digunakan, bagaimana algoritma bekerja, dan bagaimana kebijakan teknologi disusun. Pemerintah perlu mengintegrasikan literasi digital dalam kurikulum dan menyusun regulasi yang tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga mendorong

Revolusi kecerdasan buatan bukan sekadar soal teknologi, tapi soal arah masa depan kita sebagai manusia dan warga negara. Di tengah arus otomatisasi, kita dihadapkan pada pilihan: menjadi pengguna pasif yang dikendalikan sistem, atau menjadi warga digital yang sadar, kritis, dan bertanggung jawab.

AI bisa menjadi alat luar biasa untuk kemajuan bangsa—jika dikendalikan dengan nilai-nilai etika, hukum yang adil, dan partisipasi publik yang kuat. Namun tanpa kesadaran kolektif, AI justru bisa menjadi alat ketimpangan dan pelanggaran hak.

Kini saatnya kita bertanya, bukan hanya “seberapa canggih teknologi kita?”, tetapi “seberapa siap kita secara moral dan sosial untuk menghadapinya?”. Sebab di era mesin pintar, yang paling dibutuhkan justru manusia yang lebih bijak.akuntabilitas teknologi.

Lebih dari itu, warga negara juga perlu mengambil sikap kritis: mulai dari membaca syarat dan ketentuan aplikasi, mempertanyakan kebijakan privasi, hingga aktif dalam diskusi publik mengenai teknologi dan masa depan. Dalam sistem demokrasi digital, suara rakyat tetap memiliki kekuatan—selama rakyatnya tahu bahwa mereka punya suara.

Kita tidak sedang melawan teknologi. Kita sedang memperjuangkan agar teknologi berkembang tanpa meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan dan hak-hak warga negara. Sebab, pada akhirnya, teknologi harus melayani manusia—bukan mengendalikan mereka.

By : Erlangga Ksatria Wicaksono (Mahasiswa Universitas Pamulang)

Baca Lainnya

Calon Sekretaris Daerah Pandeglang Banyak Dipertanyakan

30 June 2025 - 12:54 WIB

Menteri Komunikasi Dan Informasi Digital Republik Indonesia, Blank Spot Dan Sinyal Lemah            

26 June 2025 - 14:57 WIB

DEMA UIN SMH Banten Gelar Diskusi Publik: “Pemakzulan Gibran — Jalan Konstitusional Atau Manuver Politik?”

25 June 2025 - 17:04 WIB

KNPI Pandeglang Desak KPK Usut Tuntas Temuan BPK, Ungkap Kerugian Negara Rp37 Miliar Lebih

25 June 2025 - 09:03 WIB

BEM Nusantara Wilayah Banten Resmi Dikukuhkan, Soroti Peran Mahasiswa dalam Sektor Pendidikan

22 June 2025 - 08:55 WIB

Banyak Penulis Berbakat, Tapi Tak Sekuat JK

21 June 2025 - 10:14 WIB

Trending di Hiburan