RADIKALISME | Pada awal abad ke-20, dunia mengalami gejolak hebat. Perang, penjajahan, dan ketidakadilan menciptakan kemarahan yang mendidih di dada banyak orang
Di balik amarah itu, lahirlah ide-ide keras. Ide menolak kompromi. Menolak jalan tengah. Menginginkan perubahan secepat kilat. Walau harus dengan darah. Di sinilah radikalisme mulai menanamkan akarnya.
Radikalisme bukan barang baru. Ia bukan hanya milik satu agama, satu bangsa, atau satu ideologi. Ia bisa lahir di mana saja. Dalam ruang kelas. Di balik tembok masjid. Bahkan, dari layar ponsel di tangan anak muda yang kesepian.
Secara etimologis, kata radikal berasal dari bahasa Latin, radix. Artinya akar. Maka, menjadi radikal berarti menyasar sampai ke akar persoalan. Namun, seiring waktu, makna ini berubah. Menjadi lebih keras. Lebih ekstrem.
Dalam konteks sosial-politik, radikalisme sering kali diasosiasikan dengan paham atau tindakan menolak sistem yang ada. Ia ingin mengganti tatanan secara total. Bukan reformasi, tapi revolusi. Bukan kompromi, tapi konfrontasi.
Akar dari radikalisme sendiri sangat beragam. Namun, hampir semuanya tumbuh dari satu hal: rasa ketidakadilan.
Bayangkan seorang pemuda yang hidup dalam kemiskinan. Ia melihat korupsi merajalela. Pendidikan mahal. Lapangan kerja sempit. Sementara di televisi, para elite politik tertawa di atas penderitaan rakyat. Ketika harapan pupus, radikalisme datang menawarkan “jawaban”.
Radikalisme tidak muncul begitu saja. Ia bukan badai yang datang tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan. Ada beberapa faktor yang membuatnya tumbuh.
Pertama, faktor ekonomi. Ketimpangan yang lebar antara si kaya dan si miskin membuka celah subur bagi ide-ide radikal. Orang lapar lebih mudah marah. Orang marah lebih mudah percaya pada siapa saja yang menjanjikan perubahan instan.
Kedua, faktor pendidikan. Ketika sistem pendidikan hanya menjejalkan hafalan tanpa mengajarkan berpikir kritis, kita mencetak manusia-manusia yang mudah diseret arus.
Mereka tidak diajarkan untuk bertanya, hanya disuruh menerima. Di sinilah radikalisme masuk lewat pintu kecil. Dengan dalil yang tampak suci.
Ketiga, faktor identitas. Dalam dunia yang semakin global, banyak orang merasa kehilangan arah. Mereka tidak tahu lagi siapa dirinya. Saat itu kelompok radikal menawarkan “keluarga baru”. Sebuah rasa memiliki. Sebuah identitas yang kuat. Walau semu.
Keempat, trauma sejarah. Banyak negara, termasuk Indonesia, pernah mengalami masa kelam. Penindasan. Diskriminasi. Kekerasan negara. Semua ini menyisakan luka. Dan luka yang tidak diobati, mudah disusupi kebencian.
Kelima, teknologi. Internet memberi ruang bebas untuk menyebarkan ide. Termasuk ide radikal. Anak muda yang kesepian bisa terpapar paham ekstrem hanya lewat satu video di YouTube. Grup WhatsApp. Satu grup di Telegram. FYP Tiktok. Satu tulisan di FB yang menggugah amarah.
Radikalisme bisa berbahaya bukan hanya karena ia bisa melahirkan kekerasan. Namun, karena sering kali dibungkus dengan narasi kebaikan. Dengan dalil agama. Janji surga. Juga kata-kata indah tentang keadilan dan perjuangan.
Orang tidak sadar sedang melangkah ke jurang. Mereka mengira sedang berjalan menuju cahaya. Padahal sebaliknya.
Bahaya lain dari radikalisme ialah menciptakan dunia hitam-putih. Kita versus mereka. Benar atau salah. Surga atau neraka. Tidak ada ruang untuk perbedaan dan dialog. Padahal hidup, sejatinya, ruang abu-abu. Penuh nuansa. Penuh kompromi.
Radikalisme juga merusak jaringan sosial. Ia memisahkan anak dari orang tua. Teman dari sahabat. Bahkan sesama saudara seiman bisa saling membenci hanya karena perbedaan tafsir.
Di tingkat negara, radikalisme bisa menghancurkan stabilitas. Ia bisa menginspirasi aksi teror. Mengguncang kepercayaan publik pada institusi. Membuat warga hidup dalam ketakutan. Dan ketika rasa takut menguasai, akal sehat perlahan mati.
Apa yang bisa kita lakukan? Radikalisme tidak bisa dilawan dengan kekerasan. Ia bukan api yang bisa padam dengan bensin. Ia butuh pendekatan yang lebih halus. Lebih mendalam.
Kita perlu mendengarkan. Bukan hanya menasihati. Kita perlu hadir di ruang-ruang sunyi tempat radikalisme tumbuh. Menemani yang marah. Menguatkan yang kecewa. Memberi harapan pada yang kehilangan arah.
Pendidikan harus menjadi benteng pertama. Namun, bukan pendidikan yang kaku. Bukan yang hanya mengejar nilai. Melainkan pendidikan yang membuka pikiran. Mengajarkan empati. Juga membiasakan berdialog dan berbeda pendapat.
Kita juga butuh keadilan yang nyata. Kesejahteraan merata. Negara yang benar-benar hadir untuk rakyat. Karena selama masih ada ketimpangan, radikalisme akan selalu punya tempat.
Dan tentu, kita semua harus terus belajar. Menjadi manusia yang tidak cepat menghakimi. Tidak gampang tersulut. Tahu bahwa dunia ini rumit. Dan justru karena itu, kita harus lebih sabar, lebih bijak, dan lebih manusiawi.
Akhir kata radikalisme lahir dari luka. Dari rasa ditinggalkan. Dari kemarahan yang lama tak terdengar. Namun, seperti semua luka, ia bisa sembuh. Dengan perhatian. Dengan pengertian. Dan yang paling penting: dengan cinta.
Penulis : Subandi Musbah