NUSAKATA.COM- Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Andreas Hugo Pereira, menegaskan bahwa parlemen tidak akan sembarangan memberikan izin kepada perguruan tinggi untuk mengelola tambang.
Meski DPR telah mengakomodasi hal tersebut dalam revisi keempat Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), pemberian izin akan melalui pertimbangan yang matang.
“Kita akan melihat terlebih dahulu kampus seperti apa yang layak diberikan izin untuk mengelola tambang. Jangan sampai kampus hanya mendapatkan izin, tetapi kegiatan penambangannya dilakukan oleh pihak lain,” ujar Andreas dalam wawancara dengan RRI Pro 3, Kamis (23/1/2025).
Ia menambahkan bahwa semangat DPR adalah memberikan kesempatan yang sama, tetapi tetap mempertimbangkan kelayakan dan kemampuan perguruan tinggi tersebut.
Sebelumnya, dalam Rapat Paripurna ke-11 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, DPR menyetujui perubahan keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi usul inisiatif DPR.
Ketentuan mengenai perguruan tinggi yang dapat mengelola tambang diatur dalam Pasal 51A dalam draft revisi UU Minerba, dengan ketentuan sebagai berikut:
Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral Logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi melalui mekanisme prioritas.
Mekanisme prioritas tersebut mempertimbangkan: a. Luas WIUP Mineral Logam. b. Akreditasi perguruan tinggi dengan status minimal B. c. Peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut akan diatur melalui atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Di sisi lain, pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi, menolak ide pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi. Ia khawatir hal ini akan menimbulkan konflik kepentingan, mengingat kampus selama ini berperan sebagai penjaga lingkungan, tetapi justru berpotensi menjadi perusak lingkungan.
Fahmi juga menyoroti potensi meningkatnya konflik sosial antara sektor pertambangan dan masyarakat jika kampus ikut mengelola tambang. Selain itu, ia menilai perguruan tinggi tidak memiliki kompetensi untuk mengelola tambang dari hulu hingga hilir.
“Pada akhirnya, kampus hanya akan memegang izin, sementara pengelolaannya dilakukan oleh pihak pemodal. Kampus hanya mendapat bagian kecil, sedangkan bagian terbesar dinikmati oleh pemodal,” tegas Fahmi.