NUSAKATA.COM-Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah tampaknya lebih diarahkan sebagai alat peningkatan citra politik ketimbang benar-benar menyelesaikan persoalan gizi dan pendidikan di Indonesia. Alih-alih menjadi solusi, program ini berisiko menimbulkan pemborosan, inefisiensi, hingga praktik korupsi yang justru merugikan masyarakat.
Pertama, dari sisi anggaran, MBG diperkirakan menghabiskan triliunan rupiah setiap tahun. Jumlah tersebut sangat besar, namun tidak diiringi dengan perhitungan yang jelas dan akuntabel. Pertanyaan mendasar muncul: bagaimana makanan diperoleh, siapa yang memastikan kualitasnya, dan siapa yang bertanggung jawab atas distribusinya? Tanpa pengawasan ketat, program ini berpotensi menjadi ladang keuntungan bagi pihak tertentu, sementara anak-anak tetap menerima makanan dengan kualitas rendah.
Kedua, dari segi konsep, program ini tampak kurang matang. Banyak sekolah di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) bahkan tidak memiliki dapur, akses air bersih, ataupun tenaga kerja yang memadai untuk menyiapkan makanan. Siapa yang menjamin makanan tersebut aman dikonsumsi? Apakah pemerintah telah menyiapkan mekanisme untuk memastikan keamanan pangan di daerah terpencil? Jika tidak, risiko yang muncul justru serius: makanan basi, keracunan massal, atau pelaksanaan program yang hanya sekadar formalitas.
Ketiga, aspek distribusi yang adil juga patut dipertanyakan. Ada kemungkinan wilayah maju memperoleh pelayanan memadai, sedangkan daerah tertinggal kembali terabaikan. Padahal, tujuan utama program ini adalah membantu mereka yang paling membutuhkan.
Hal yang paling dikhawatirkan adalah dominasi perusahaan besar dalam pengadaan makanan. Alih-alih memberdayakan petani lokal, nelayan, atau usaha kecil dan menengah, proyek berskala besar semacam ini berpotensi dikuasai vendor yang memiliki koneksi politik. Jika itu yang terjadi, niat mulia untuk meningkatkan gizi anak-anak hanya akan bergeser menjadi ajang memperkaya kelompok tertentu.