Menurut Ustadz Hanif Alatas dan Ustad Wafi, ulama nasab tidak mensyaratkan ada kitab sezaman. Ini ungkapan yang salah dalam memahami ibaroh ulama nasab. ulama nasab sangat konsen memperhatikan pentingnya kitab sezaman dalam mengkonfirmasi suatu nasab. di bawah ini contoh bagaimana Ustadz Hanif Alatas salah dalam memahami ibaroh Syekh al-Husain bin Haidar al-Hasyimi dalam kitabnya Risalah fi Ilm al Ansab yang dibacakan pada diskusi di Banten:
الطريق الثاني كتب النسابين الابدال العلماء الثقات المحققين الاثبات التي لم تلحقها ايدي الهواة العابثين والضعفاء المتروكين والوضاع الكاذبين لا سيما ان كانت مشهورة منتشرة اما ان كانت مخطوطة فيجب التثبت من الخطوط ومقابلة النسخ المخطوطة ومتي عرف خط النسابة المحقق الثقة فانه يعمل به ويكون مستندا شرعيا وعليه العمل في القديم والحديث وكذا العمل بالوجادات (رسائل في علم الانساب: 105)
Dari ibaroh ini, Ustadz Hanif Alatas menyimpulkan bahwa kitab sezaman tidak diperlukan, benarkah? Mari kita uji kalimat perkalimat. Sebelumnya perlu diketahui, bahwa ibaroh ini sedang membicarakan cara menetapkan nasab menurut para ulama nasab.
Attoriqussani: cara kedua (menetapkan nasab) adalah:
“kutubunnassabiinal abdal” dengan kitab-kitab ahli nasab yang al-abdal. Apa arti al-abdal? al-Abdal adalah jamak dari al-badalu atau al-bidlu artinya adalah al-khalfu wal ‘iwadu: generasi dan pengganti. Maksudnya adalah ahli-ahli nasab dari setiap generasi. Dari sini saja kita sudah dapat mengerti bahwa, yang dimaksud adalah kitab-kitab ulama nasab yang berkesinambungan setiap generasi. Tidak bisa ujug-ujug sebuah kitab bicara tentang suatu nasab yang tidak mempunyai sanad dan bertentangan dengan kitab sebelumnya
Al-ulama al-siqot artinya: ulama-ulama yang terpercaya. Ulama-ulama yang objektif. Tidak dicurigai ada subjektifitas karena misalnya ia mempertahankan pendapat yang menguntungkan suatu nasab yang dirinya termasuk dalam nasab itu, sementara pendapat itu bertentangan dengan kitab lainnya.
Al-Muhaqiqin, artinya ulama ulama yang muhaqqiq. Muhaqqiq itu: man asbatad dalila biddalil, orang yang menetapkan dalil dengan dalil, artinya jika ada informasi ia kroscek, ia verivikasi kebenarannya, bukan taken for granted. Bukan menerima setiap informasi apa adanya lalu disebutkan dikitabnya. Nah dari sini, jika ada suatu nasab disebutkan di kitab abad 12 misalnya, tentang Ahmad bin Isa yang hidup di abad 4, maka kita akan mengetahui apakah penulis kitab ini muhaqqiq atau bukan, ketika kita konfirmasi di kitab abad ke empat. Jika informasi yang ia sampaikan di abad 12 itu ternyata tidak sesuai dengan abad ke empat, maka berarti ia tidak tahqiq dalam masalah itu. Ia hanya menyebutkannya tanpa memverivikasinya. Tidak tahqiq dalam suatu masalah bukan berarti ia tidak tahqiq dalam masalah lain. Mungkin hanya karena masalah yang ia tidak tahqiq itu ia anggap tidak penting saja.
Al-atsbat, adalah jamak dari tsabat, artinya hujjatun yusaqu bihi: dalil yang dipercaya. Maksudnya adalah kitab-kitab itu dapat dipercaya substansi, validitas dan orisinalitasnya.