Menu

Mode Gelap
 

Kartini yang Dilenyapkan: Ketika Perayaan Hanya Menutupi Ketidak Adilan

- Nusanews.co

21 Apr 2025 08:57 WIB


					Foto : Rina Gustina Perbesar

Foto : Rina Gustina

NUSAKATA.COM – Setiap tahun, Indonesia memperingati Hari Kartini pada tanggal 21 April sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan seorang wanita yang membawa suara bagi emansipasi perempuan. Namun, seringkali perayaan ini terjebak dalam simbolisme yang kosong dan jauh dari semangat perjuangan Kartini yang sesungguhnya.

Kartini, yang mestinya dikenang sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan patriarkal, kerap kali dipersepsikan hanya sebagai ikon budaya: perempuan berkebaya, lembut, dan mendalami peran domestik.

Padahal, melalui gagasan-gagasan radikal yang tertuang dalam surat-suratnya, Kartini adalah seorang pemikir besar yang melawan sistem yang menindas, mempertanyakan tafsir agama yang membelenggu, serta memperjuangkan kesetaraan hak bagi perempuan dalam pendidikan dan kehidupan sosial.

Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, yang terdiri dari kumpulan surat-surat pribadi Kartini kepada sahabatnya, membuka jendela pemikiran kritis yang sangat relevan dengan kondisi sosial kita hari ini. Dalam surat-suratnya, Kartini menggugat ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.

Ia dengan berani mencatat, “Apakah perempuan harus dipenjarakan hanya karena ia dilahirkan dengan tubuh yang berbeda?” Surat-surat tersebut bukan hanya berisi keluhan tentang kesulitan hidupnya yang dibatasi oleh budaya dan sistem, tetapi juga tentang mimpi-mimpi besar untuk merubah nasib perempuan melalui pendidikan dan kebebasan berpikir. Kartini memperjuangkan agar perempuan tidak hanya menjadi objek, tetapi subjek yang berhak menentukan arah hidupnya sendiri.

Namun, apa yang kita rayakan setiap 21 April ini seringkali hanyalah bayangan semu dari perjuangan sejati yang Kartini impikan. Di balik perayaan yang penuh dengan seremoni ini, kenyataan di lapangan jauh lebih gelap dan tragis. Hari ini, perempuan masih menjadi korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga hingga pelecehan seksual di ruang publik dan di tempat kerja.

Kasus-kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, namun sering kali dianggap sebagai masalah yang “hanya terjadi pada orang lain” atau lebih tragisnya, disembunyikan dalam ruang privat.

Di dunia kampus, misalnya, meski perempuan semakin banyak yang meraih gelar sarjana dan melanjutkan studi, kenyataan di balik tembok kampus jauh lebih suram. Kekerasan seksual di lingkungan kampus bukan hanya masalah yang terabaikan, tetapi seringkali dibungkam dengan alasan “merusak citra universitas” atau “karena mereka sendiri yang salah.”

Berapa banyak mahasiswa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual namun akhirnya memilih diam, terpaksa menelan kepedihan, atau bahkan disalahkan atas apa yang terjadi pada mereka? Fenomena ini menunjukkan betapa sistem patriarkal masih merajalela di institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk membebaskan pikiran.

Di luar kampus, perempuan terus mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Kasus seperti pelecehan yang terjadi di angkutan umum, di tempat kerja, hingga kekerasan dalam rumah tangga, memperlihatkan bahwa perempuan tak punya ruang aman untuk hidup dalam damai.

Bagaimana bisa kita menganggap diri kita telah merayakan emansipasi jika di saat yang sama, perempuan masih dipaksa menghadapi risiko pelecehan fisik, verbal, dan seksual dalam kehidupan sehari-hari? Ini adalah kenyataan yang harus kita terima, bahkan di zaman yang seharusnya lebih maju ini. Dalam dunia kerja, perempuan masih terjebak dalam jurang kesenjangan upah dan kesulitan menembus posisi-posisi pimpinan.

Mereka sering kali dipandang sebelah mata hanya karena gender, terpaksa berjuang dua kali lebih keras untuk mendapatkan pengakuan yang setara dengan rekan pria mereka.

Ironisnya, meskipun kita menganggap diri kita sebagai bangsa yang maju, ternyata kita belum mampu menuntaskan masalah dasar ini. Angka kekerasan terhadap perempuan, baik fisik maupun seksual terus meningkat. Di Indonesia, setiap hari ada saja pemberitaan tentang pelecehan, pemerkosaan, hingga pembunuhan yang melibatkan perempuan.

Dan seringkali, para pelaku kekerasan ini tidak diadili dengan seharusnya, bahkan banyak dari mereka yang masih bebas berkeliaran tanpa mendapat hukuman yang setimpal. Ini adalah sebuah sistem yang gagal memberikan perlindungan terhadap korban. Ini adalah sistem yang lebih berpihak pada pelaku dan mengabaikan korban, yang kebanyakan dari mereka adalah perempuan.

Peringatan Hari Kartini saat ini seharusnya lebih dari sekadar mengenang, lebih dari sekadar perayaan yang hanya menghormati wajah Kartini tanpa menyelami perjuangan dan pemikirannya yang tajam.

Kartini bukan hanya sebuah simbol budaya, melainkan seorang pembawa perubahan yang berani menghadapi ketidakadilan. Jika kita merayakan Kartini tanpa benar-benar menggali nilai-nilai yang dia perjuangkan, maka kita hanya menjalankan ritual kosong yang tidak memiliki dampak.

Kita tidak bisa terus menerus terjebak dalam kemewahan seremonial dan melupakan bahwa inti dari perjuangan Kartini adalah untuk memberi perempuan ruang, baik itu di ranah pendidikan, di dunia kerja, maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Hari ini, kita harus melanjutkan perjuangan Kartini dengan lebih berani dan lebih kritis. Kartini menginginkan perempuan Indonesia bebas, bukan hanya dalam arti mengakses pendidikan, tetapi juga bebas dari segala bentuk penindasan, kekerasan, dan diskriminasi.

Masyarakat kita seharusnya bukan hanya merayakan Kartini melalui pakaian adat dan upacara, tetapi melalui tindakan nyata melalui perubahan kebijakan, perbaikan sistem hukum, serta penyediaan ruang aman bagi perempuan untuk berkembang tanpa takut akan kekerasan atau pelecehan.

Perjuangan Kartini adalah perjuangan untuk keadilan sosial, bukan sekadar simbolisme budaya. Jika kita masih bisa membaca surat-suratnya yang penuh dengan keresahan terhadap ketidakadilan dan semangat untuk membebaskan perempuan, maka sudah saatnya kita bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita benar-benar melanjutkan perjuangannya? Kartini tidak hanya ingin kita mengenang dia, tetapi mengajak kita untuk melawan segala bentuk ketidakadilan, sekecil apapun itu.

Hari ini, kita berhutang pada Kartini untuk meneruskan perjuangan yang ia mulai—bukan dengan upacara, tetapi dengan keberanian untuk bertindak, menggugat, dan mengubah sistem yang masih menindas perempuan.

Oleh : Rina Gustina (Ketua Departemen Pustaka, Informasi, dan Teknologi Digital PC Nasyiatul Aisyiyah Selaparang)

Baca Lainnya

Calon Sekretaris Daerah Pandeglang Banyak Dipertanyakan

30 June 2025 - 12:54 WIB

DEMA UIN SMH Banten Gelar Diskusi Publik: “Pemakzulan Gibran — Jalan Konstitusional Atau Manuver Politik?”

25 June 2025 - 17:04 WIB

KNPI Pandeglang Desak KPK Usut Tuntas Temuan BPK, Ungkap Kerugian Negara Rp37 Miliar Lebih

25 June 2025 - 09:03 WIB

BEM Nusantara Wilayah Banten Resmi Dikukuhkan, Soroti Peran Mahasiswa dalam Sektor Pendidikan

22 June 2025 - 08:55 WIB

Banyak Penulis Berbakat, Tapi Tak Sekuat JK

21 June 2025 - 10:14 WIB

Dari Ujung Selatan Pimpin KNPI Pandeglang

20 June 2025 - 22:55 WIB

Trending di Daerah