KAJIAN | Ada kebiasaan yang hilang. Dan tak pernah lagi bunyi di kalangan mahasiswa: Kajian. Sebuah tradisi intelektual yang pernah menjadi denyut nadi gerakan kaum terdidik.
Dulu, suara itu terdengar setiap malam. Suara buku dibuka. Suara diskusi. Suara debat. Suara tawa yang diselingi argumen-argumen cerdas. Di sekretariat organisasi, di teras kosan, di pelataran musala kampus. Mahasiswa berkumpul.
Mereka tidak bicara soal proposal kegiatan atau program kerja tahunan. Mereka bicara soal masyarakat, soal penindasan, atau soal gagasan. Juga soal ilmu pengetahuan.
Sekarang, ruang-ruang itu sunyi. Buku tak lagi jadi teman setia. Meja kajian tergantikan oleh meja rapat. Dari sekretariat mahasiswa, yang keluar hanyalah undangan acara dan proposal. Bukan selebaran ide.
Tak ada lagi malam-malam yang menggugah pikiran. Yang tersisa hanya malam yang sibuk dengan poster kegiatan dan absen kehadiran. Apa yang terjadi? Pergeseran paradigma yang betul-betul begitu cepat.
Seorang mahasiswa pada dasarnya merupakan insan akademis. Ia ditempa di kampus bukan untuk sekadar lulus tepat waktu, tapi untuk berpikir lebih jauh. Untuk merumuskan solusi dan berdiri tegak di tengah kebingungan masyarakat.
Namun, kini mahasiswa seperti kehilangan arah. Banyak yang terjebak dalam kesibukan semu. Berpindah dari satu proposal ke proposal lain. Organisasi hanya menjadi tangga untuk mendekat ke panggung kekuasaan. Bukan ruang tumbuhnya kesadaran kritis.
Padahal, sebelum masuk ke gelanggang pragmatisme, mahasiswa seharusnya kembali dulu ke barak. Kembali ke tempat pembentukan nalar. Ke ruang-ruang yang mematangkan pikiran dan memurnikan niat. Barak itu bernama tempat kajian.
Kajian bukan hanya soal membaca buku. Ia proses pembentukan kesadaran. Di sana, mahasiswa belajar mengenal dunianya. Mengenal sejarah, rakyat, pemerintahan, dan lain-lain. Terpenting, mengenal dirinya sendiri sebagai bagian dari perubahan.
Ruang kajian itu bisa di mana saja. Di sekretariat organisasi. Di kontrakan mahasiswa. Di taman kampus. Yang penting itu niatnya. Duduk bersama. Membaca. Menyampaikan pendapat. Bertanya, mendengarkan, membantah, dan menguatkan gagasan.
Di ruang kajian, tak ada jabatan. Tak ada senioritas. Yang ada hanya kesetaraan dalam berpikir. Saling menyulut akal. Saling menyalakan semangat. Dan perlahan, tumbuh kesadaran bahwa dunia ini tidak baik-baik saja.
Tradisi kajian merupakan warisan panjang gerakan mahasiswa. Dari era pergerakan nasional hingga reformasi, kajian selalu jadi pondasi. Di situlah ide-ide dibentuk. Strategi dirumuskan. Sikap ditentukan.
Gerakan besar tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari diskusi panjang. Dari obrolan malam yang melelahkan tapi mengasyikkan. Dari tumpukan catatan dan serpihan mimpi. Semua berawal dari satu hal: keberanian untuk berpikir.
Kini, tradisi itu perlahan terkikis. Kajian dianggap membosankan. Tidak produktif. Tidak praktis. Padahal, justru dari sanalah semua semestinya bermula. Orang besar yang hari ini kita lihat, lahir dari sana, dari kajian-kajian.
Untuk kembali ke kajian, mahasiswa tidak perlu menunggu program resmi. Tidak perlu menunggu SK pengurus. Cukup bentuk semacam lingkar studi. Tak apa kecil juga, yang penting bebas merdeka.
Lingkar studi bisa terdiri dari lima sampai sembilan orang. Pilih satu topik. Tentukan satu buku atau artikel. Lalu mulai. Tak perlu merasa bodoh. Tak perlu takut salah. Justru dari situ kita belajar.
Lingkar studi membentuk rasa percaya diri. Menumbuhkan keberanian berpikir. Dan yang lebih penting: membangun koneksi antarmahasiswa yang lebih mendalam. Bukan sekadar kenal nama, tapi kenal pemikiran.
Lingkar studi juga bisa jadi tempat menemukan arah gerakan. Apakah kita ingin bergerak di isu pendidikan? Buruh? Lingkungan? Perempuan? Atau ketimpangan sosial? Semua bisa dibedah dan dibahas bersama.
Kajian mengajarkan kita untuk memilih makna dari setiap kegiatan. Bukan asal ikut. Bukan sekadar hadir. Namun, benar-benar mengerti mengapa kita melakukan sesuatu.
Mengisi hari-hari dengan kajian berarti menyisihkan waktu untuk berpikir. Menyediakan ruang untuk belajar di luar kelas. Membuka cakrawala lebih luas. Dan yang paling penting: menjaga api idealisme agar tetap menyala.
Tak perlu lama-lama. Cukup satu jam dalam sehari. Atau dua kali dalam seminggu. Yang penting konsisten. Dilakukan secara terus menerus. Ada komitmen dari pesertanya.
Sebab, hari ini godaan terbesar mahasiswa ialah kekuasaan. Entah itu jabatan di kampus, kedekatan dengan pejabat, atau janji proyek. Semua tampak menggiurkan. Terlihat mapan. Terasa penting.
Mestinya, mahasiswa harus pandai menjaga jarak. Jangan terburu-buru melebur. Jangan tergesa-gesa menjadi alat. Harus ada pondasi dalam gagasan. Kajian merupakan penangkal. Ia menjaga mahasiswa tetap waras. Tetap jernih.
Kajian mengingatkan bahwa tugas utama mahasiswa bukan memegang kekuasaan, tapi mengawalnya. Bukan duduk di singgasana, tapi berdiri di samping rakyat yang tersingkirkan.
Kalau terlalu cepat menyentuh kekuasaan, mahasiswa akan kehilangan daya kritisnya. Dan ketika daya kritis hilang, maka semua gelar dan jabatan tak lagi bermakna.
Untuk itu, waktunya kembali ke barak. Barak bukan tempat tidur. Namun, tempat bersiap. Tempat mengasah senjata pemikiran. Tempat menempa keberanian dan kejujuran intelektual.
Mahasiswa yang lupa pada barak akan mudah terombang-ambing. Tidak punya arah. Tidak tahu dari mana ia mulai dan ke mana harus melangkah. Seperti orang tak memiliki kompas. Atau pegangan.
Sebaliknya, mahasiswa yang setia pada barak akan punya landasan kuat. Tahu kapan harus diam, kapan harus bicara. Tahu kapan harus berpikir dan kapan harus bertindak. Hidupnya runut. Penuh pertimbangan.
Kita butuh lebih banyak mahasiswa yang berpikir jernih. Yang tak takut mempertanyakan. Tak malu mengakui belum tahu. Yang tumbuh dari proses, bukan dari pencitraan. Bukan pula yang hanya pengekor. Sebatas menjadi peserta pelatihan.
Membangun kembali tradisi kajian memang tidak mudah. Namun, bukan tidak mungkin. Ia bisa dimulai dari satu orang yang rindu berpikir. Dari satu ruang kecil yang menolak diam. Dari satu gagasan yang dituliskan dan disebarkan.
Dan pada akhirnya, jika ada satu hal yang bisa diwariskan dari masa kuliah, biarlah itu bukan gelar atau jabatan. Melainkan jejak gagasan yang terus hidup. Jauh setelah kita lulus dari mahasiswa. Jika kamu merasa sendiri, ingatlah: pemikiran yang jujur selalu menemukan teman. Gagasan yang tulus akan selalu punya jalan.
Kembalilah ke kajian. Kembalilah ke percakapan. Kembalilah ke buku. Kembalilah ke barak. Dan kembalilah menjadi mahasiswa, dalam arti yang sebenar-benarnya.