AWARD | Jurnalisme bukan sekadar menyampaikan fakta. Ia merupakan pisau bedah yang menguliti realitas. Media yang kritis bukan sekadar pengamat, tetapi pengingat. Dan, jika harus, sebagai penggugat.
Media punya peran besar dalam membentuk cara pandang publik. Ia bukan sekadar penyampai informasi, tetapi juga penjaga moral sosial. Juga sebagai pilar demokrasi.
Sayangnya, tidak semua media menjalankan peran itu dengan baik. Sebagian justru lebih sibuk mencari keuntungan daripada menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial.
Di sinilah letak urgensi media kritis. Media yang tak hanya menyajikan berita, tetapi juga mempertanyakan, mengingatkan, dan memastikan suara rakyat tidak tenggelam dalam lautan kepentingan elite.
Media yang kritis seharusnya tidak takut bertanya. Mengapa kebijakan publik sering kali hanya menguntungkan segelintir orang? Mengapa keadilan terasa seperti barang mewah yang sulit diakses oleh rakyat kecil?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin tidak nyaman bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Namun, di situlah esensi jurnalisme kritis. Media bukan sekadar penyampai kabar, tetapi juga penjaga nurani publik.
Sayangnya, banyak media hari ini lebih sibuk mengejar klik dan viralitas. Investigasi mendalam kalah oleh artikel ringan yang mudah dikonsumsi. Padahal, media yang kritis merupakan benteng terakhir, agar demokrasi tidak berubah menjadi oligarki terselubung.
Kritik terhadap media tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Salah satu penyakit kronis yang menggerogoti kredibilitas media ialah praktik amplop.
Ini bukan rahasia. Sudah lama praktik ini terjadi. Seorang narasumber yang ingin beritanya naik sering kali harus memberi sesuatu kepada wartawan atau redaksi. Sebaliknya, berita negatif bisa diredam jika ada uang pelicin.
Atau, seorang wartawan yang kerap mengancam demi mendapatkan sejumlah uang. Mereka mencari celah, memanfaatkan kelemahan, dan menekan narasumber. Dengan dalih agar berita negatif tentang mereka tidak dipublikasikan.
Pengusaha kecil dan pejabat lokal sering menjadi target. Musababnya, mereka memiliki reputasi yang harus dijaga. Alih-alih mengkritik dengan dasar yang jelas, wartawan pemeras ini justru mencari-cari kesalahan untuk dijadikan alat tekan.
Namun, di tengah lanskap media yang sering kali mengecewakan, masih ada cahaya harapan. Banyak orang masih percaya bahwa media bisa menjadi lebih baik. Tidak hanya wartawan dan redaksi, tetapi juga masyarakat luas.
Itulah yang mendasari Vinus mengadakan Award. Sebagai media yang sedang tumbuh, kita ingin memberikan penghargaan kepada mereka yang turut serta membangun ekosistem media yang sehat.
Publik bukan sekadar konsumen berita. Mereka juga bisa menjadi produsen informasi, kritikus media, atau bahkan pemberi data untuk mengungkap kebenaran.
Dengan Vinus Award, kami ingin mengapresiasi mereka yang telah berkontribusi. Mereka yang tidak tinggal diam saat melihat ketidakadilan. Mereka yang percaya bahwa media bisa menjadi lebih dari sekadar alat propaganda.
Penghargaan ini bukan sekadar seremoni. Ini merupakan pernyataan sikap. Bahwa di tengah derasnya informasi yang sering kali menyesatkan, masih ada yang peduli terhadap kebenaran.
Menjadi media kritis bukan pekerjaan mudah. Ada tekanan, ada ancaman, ada godaan. Tetapi jika media ingin tetap independen dan relevan, ia harus kembali ke akar: kebenaran dan keberanian.
Karena pada akhirnya, jurnalisme bukan hanya soal kata-kata. Ia harus menjelma menjadi alat perjuangan. Perjuangan untuk sebuah dunia yang lebih terang.