Menu

Mode Gelap
 

Hari Hak Asasi Manusia dan Realitas Kesetaraan yang Masih Jauh dari Harapan

- Nusakata

10 Dec 2025 21:44 WIB


					Hari Hak Asasi Manusia dan Realitas Kesetaraan yang Masih Jauh dari Harapan. (Foto/Doni) Perbesar

Hari Hak Asasi Manusia dan Realitas Kesetaraan yang Masih Jauh dari Harapan. (Foto/Doni)

NUSAKATA.COM — Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diperingati setiap 10 Desember selalu membawa pesan universal: setiap manusia lahir bebas, martabatnya tidak dapat dirampas, dan kita semua setara. Namun, peringatan ini kerap berakhir sebagai seremoni tahunan tanpa menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. “Kita Semua Setara” sering hanya menjadi slogan yang terdengar indah, tetapi tak tercermin dalam kebijakan, perlakuan, dan struktur sosial yang mengatur kehidupan kita sehari-hari.

 

HAM Masih Dipandang Sebagai Wacana, Bukan Kewajiban Negara

Secara prinsip, konstitusi Indonesia sudah menjamin kesetaraan melalui Pasal 28 UUD 1945 dan berbagai undang-undang turunan. Namun, implementasi di lapangan jauh dari sempurna. Negara sering kali hadir tidak sebagai pelindung, tetapi justru sebagai aktor yang berpotensi melanggar hak warga.

Mulai dari kekerasan aparat yang masih terjadi, kriminalisasi terhadap masyarakat kecil, hingga diskriminasi terhadap kelompok rentan, semuanya menegaskan bahwa jaminan kesetaraan masih sebatas dokumen normatif.

Ketika masyarakat harus berjuang keras untuk mendapatkan hak dasar seperti pendidikan layak, akses kesehatan, air bersih, dan ruang hidup yang adil, maka pertanyaan besar muncul: di mana letak kesetaraan itu?

Fakta di lapangan menunjukkan kesenjangan ekonomi yang terus melebar. Hak yang seharusnya dinikmati semua orang nyatanya lebih mudah diraih oleh mereka yang memiliki akses, kekuasaan, dan modal.

Sementara itu, masyarakat di daerah pinggiran, pedesaan, atau komunitas adat masih hidup dalam ketidakpastian. Mereka kehilangan lahan, kesulitan mendapatkan layanan publik, dan terkadang tidak memiliki kekuatan untuk memperjuangkan haknya.

Kesetaraan tidak akan pernah tercapai jika struktur sosial tetap memberikan ruang lebih besar kepada yang punya kuasa, dan hanya meninggalkan serpihan kesempatan kepada yang lemah.

Peringatan Hari HAM harus membuka mata kita pada kenyataan bahwa perempuan, anak, dan penyandang disabilitas masih mengalami pelanggaran hak paling tinggi. Kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat, hak anak untuk mendapatkan perlindungan sering diabaikan, dan difabel masih mengalami diskriminasi dalam pelayanan publik maupun pekerjaan.

Kondisi ini membuktikan bahwa kesetaraan tidak cukup diucapkan; ia harus diwujudkan dalam kebijakan yang berpihak dan sistem yang menegakkan perlindungan secara nyata.

Salah satu hak paling dasar adalah kebebasan menyatakan pendapat. Namun, hingga hari ini, banyak orang masih takut untuk bersuara karena tekanan sosial, ancaman hukum, atau kekuasaan yang tidak mau dikritik.

Ketika kritik dianggap ancaman, bukan masukan, maka negara sebenarnya sedang mengikis prinsip kesetaraan.

Kesetaraan bukan hanya soal hak mendapatkan pelayanan atau fasilitas, tetapi juga hak untuk didengar. Dan hak ini masih belum diberikan secara utuh kepada seluruh warga.

Hari HAM seharusnya menjadi pengingat bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus hadir dalam setiap kebijakan, setiap forum publik, dan setiap hubungan antar warga.

Namun yang terjadi sering kali sebaliknya peringatan hanya menjadi acara formal, sementara substansinya terlupakan.

Kita butuh keberanian untuk mengatakan bahwa banyak pelanggaran HAM di negeri ini tidak terjadi karena ketidaktahuan, tetapi karena pembiaran. Kita butuh kejujuran untuk mengakui bahwa kesetaraan tidak akan tercapai jika negara dan masyarakat masih menormalisasi diskriminasi.

“Kita Semua Setara” bukanlah kenyataan yang datang dengan sendirinya. Ia adalah visi yang hanya bisa diwujudkan melalui komitmen dan keberanian untuk mengubah struktur yang tidak adil.

Masyarakat harus aktif menolak ketidakadilan, mengawasi kekuasaan, dan membela yang lemah. Negara harus hadir bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pelindung hak setiap manusia, dari kota hingga desa, tanpa pengecualian.

Hari Hak Asasi Manusia seharusnya mendorong kita untuk tidak hanya memperingati, tetapi bertindak karena kesetaraan tidak akan pernah menjadi nyata selama kita hanya mengucapkannya.

 

Oleh : Doni Sanjaya Saputra

Mahasiswa Fakultas Hukum

Baca Lainnya

Dokter Langka, Rumah Sakit Jauh, Potret Krisis Kesehatan di Lebak

28 November 2025 - 01:04 WIB

Manipulasi Gerakan Radikalisme Menyusup Di Jiwa Idealisme

25 November 2025 - 18:54 WIB

Di Balik Senyum Anak Pedalaman, Ada Infrastruktur yang Gagal Dibangun

20 November 2025 - 13:57 WIB

Ketum PC PMII Kabupaten Serang Serukan Penolakan KUHP

19 November 2025 - 00:43 WIB

Perawat Tokoh Vital Dalam Mewujudkan Pembangunan Kesehatan Bangsa

12 November 2025 - 18:02 WIB

Koalisi Mahasiwa Demokrasi Indonesia : Soeharto dan Sarwo Edhie Bukan Pahlawan

10 November 2025 - 20:10 WIB

Trending di Opini