Nusakata.com – Generasi milenial, atau mereka yang lahir antara tahun 1981 dan 1996, kini menjadi kelompok demografis terbesar di banyak negara, termasuk Indonesia. Dengan jumlah yang begitu besar, generasi milenial memiliki potensi besar untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum.
Koordinator Divisi Data dan Informasi KPU RI, Betty Epsilon Idroos pada Rapat PLeno Terbuka Penetapan Rekapitulasi DPT Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, beliau mengatakan bahwa ada sebanyak 66.822.389 atau sebanyak 33,60 persen pemilih dari generasi milenial, Minggu, (2/9/2023).
“Namun, kenyataannya, meskipun menjadi pemilih terbanyak, mereka seringkali merasa terpinggirkan dan kurang dilibatkan dalam proses pemilihan.” Paparnya
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), generasi milenial merupakan hampir sepertiga dari total populasi Indonesia. Dalam pemilihan umum, suara mereka dapat menentukan arah kebijakan dan kepemimpinan negara.
Namun, partisipasi milenial dalam pemilihan umum sering kali tidak sebanding dengan jumlah mereka. Banyak di antara mereka merasa bahwa proses politik tidak mencerminkan aspirasi dan kebutuhan mereka, sehingga mereka memilih untuk tidak berpartisipasi.
Salah satu alasan utama mengapa generasi milenial merasa terpinggirkan adalah kurangnya representasi politik. Banyak partai politik masih didominasi oleh politisi dari generasi yang lebih tua, yang sering kali kurang memahami atau memperjuangkan isu-isu yang penting bagi milenial, seperti perubahan iklim, lapangan kerja, pendidikan, dan teknologi.
Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak relevan dengan kebutuhan dan harapan milenial.
Banyak milenial yang merasa skeptis terhadap sistem politik. Mereka sering kali melihat politik sebagai arena yang korup dan tidak transparan.
Ketidakpercayaan ini diperparah oleh berbagai skandal korupsi yang melibatkan politisi dan pejabat publik. Ketidakpercayaan ini membuat banyak milenial enggan untuk terlibat dalam proses politik, termasuk dalam pemilihan umum.
Pendidikan politik yang kurang memadai juga menjadi faktor penting dalam rendahnya partisipasi milenial. Banyak milenial yang tidak mendapatkan pendidikan politik yang memadai di sekolah atau di lingkungan mereka.
Mereka kurang memahami bagaimana sistem politik bekerja dan bagaimana mereka dapat berkontribusi dalam proses tersebut. Kurangnya pendidikan politik ini membuat banyak milenial merasa tidak berdaya dan tidak memiliki suara dalam proses politik.
Di era digital, media sosial telah menjadi platform penting bagi milenial untuk mengekspresikan pendapat mereka dan terlibat dalam diskusi politik. Namun, meskipun media sosial dapat meningkatkan kesadaran politik, hal ini belum tentu berbanding lurus dengan partisipasi dalam pemilihan umum.
Banyak milenial yang aktif di media sosial, namun tidak terlibat dalam proses pemilihan karena merasa bahwa suara mereka tidak akan berdampak signifikan.
Untuk meningkatkan partisipasi politik milenial, beberapa langkah dapat diambil, diantaranya :
Pertama, partai politik perlu memberikan ruang lebih bagi politisi muda yang dapat mewakili aspirasi milenial.
Kedua, pendidikan politik harus diperkuat di desa-desa terpencil melalui program-program masyarakat untuk meningkatkan pemahaman milenial tentang pentingnya partisipasi politik.
Ketiga, politik harus menjadi lebih transparan dan akuntabel untuk membangun kembali kepercayaan milenial terhadap politik.
Terakhir, memanfaatkan teknologi untuk membuat proses pemilihan lebih mudah diakses oleh milenial, misalnya melalui e-voting atau kampanye digital yang efektif.
Generasi milenial memiliki potensi besar untuk mempengaruhi masa depan politik negara.Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, perlu ada upaya bersama untuk melibatkan mereka secara lebih aktif dalam proses politik.
Dengan meningkatkan representasi, pendidikan politik, dan transparansi, serta memanfaatkan teknologi, partisipasi politik milenial dapat ditingkatkan, sehingga suara mereka dapat benar-benar terdengar dalam setiap pemilihan.
Penulis : Susanti
(Doni Sanjaya Saputra)