NUSAKATA.COM – Polemik terkait dualisme kepengurusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali mencuat dan menyita perhatian publik. Dua kelompok yang berseberangan saling mengklaim sebagai kepengurusan yang sah berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU.
Kondisi tersebut menimbulkan kebingungan di kalangan warga nahdliyin serta memunculkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap keberlangsungan organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Menanggapi situasi tersebut, A’wan PBNU KH Matin Syarkowi menyampaikan sikapnya secara terbuka dan tegas. Ia menilai, konflik yang terus berlarut tanpa penyelesaian hanya akan memperdalam perpecahan apabila tidak dihadapi dengan kebesaran hati dan kesadaran bersama.
Menurut KH Matin, ketika masing-masing pihak merasa paling benar dan menganggap telah bertindak sesuai dengan AD/ART serta ketentuan organisasi, maka jalan terbaik yang harus ditempuh adalah islah atau rekonsiliasi.
Hal itu disampaikannya saat ditemui di Teras Al-Banusri Pondok Pesantren Al-Fathaniyah, Tengkele, Kota Serang, Banten, Selasa, 16 Desember 2025.
Ia menjelaskan bahwa gagasan islah sejatinya telah lama digaungkan oleh para masyayikh NU. Islah merupakan prinsip ajaran Islam yang menekankan perdamaian serta penyelesaian konflik secara bijaksana.
“Oleh karena itu, menolak islah sama saja dengan membiarkan polemik terus berlangsung tanpa akhir,” ujarnya.
KH Matin juga menegaskan bahwa baik Rais Aam maupun Ketua Umum Tanfidziyah PBNU yang sama-sama mengklaim bertindak sesuai prosedur, seharusnya bersedia membuka ruang klarifikasi secara objektif.
“Jika memang terdapat tuduhan pelanggaran berat, maka hal tersebut harus dibuktikan melalui mekanisme yang adil dan transparan,” paparnya.
Ia menilai, penolakan terhadap islah kerap didasari oleh dugaan bahwa pihak yang mengusulkan rekonsiliasi dianggap berpihak pada salah satu kubu.
Namun, menurutnya, dugaan semata tidak bisa dijadikan landasan untuk mengambil keputusan besar yang berdampak luas bagi organisasi.
Dalam pandangannya, para pimpinan NU semestinya lebih mengedepankan kemaslahatan jam’iyah dan warga NU di akar rumput.
“Jika prinsip-prinsip Islam benar-benar dijunjung tinggi, maka islah seharusnya ditempatkan sebagai prioritas utama dalam menyelesaikan konflik,” imbuhnya.
KH Matin menilai bahwa munculnya pemakzulan dan pengangkatan pejabat sementara justru memperparah keadaan dan melahirkan dualisme kepemimpinan. Ia menyebut, kondisi tersebut menandakan bahwa persoalan utama bukan lagi soal prosedur, melainkan absennya kesadaran untuk menjunjung nilai islah.
Ia berharap Rais Aam dan Ketua Umum PBNU dapat menyadari tanggung jawab moral mereka. Namun jika kesadaran tersebut tidak juga muncul, ia menilai langkah mundur demi kemaslahatan organisasi patut dipertimbangkan agar NU dapat dipimpin oleh figur yang benar-benar berkhidmah tanpa kepentingan pribadi.
“Terkait wacana Muktamar Luar Biasa (MLB), KH Matin menilai opsi tersebut baru relevan apabila islah terlebih dahulu diterima dan dijalankan sebagai dasar rekonsiliasi kedua belah pihak,” jelasnya.
Saat ditanya mengenai mediator yang tepat untuk menyelesaikan konflik, KH Matin menyebut bahwa suara hati dan nurani masing-masing pihak seharusnya menjadi penengah utama.
Menurutnya, situasi saat ini telah dipenuhi oleh tafsir dan kepentingan yang kerap mengalahkan kebenaran.
Ia juga mengingatkan agar para pimpinan NU tidak mengabaikan dampak konflik elite terhadap warga NU di tingkat bawah.
“Kegaduhan di pucuk pimpinan, berpotensi melukai perasaan dan menimbulkan keresahan di kalangan jamaah,” katanya.
Pernyataan KH Matin Syarkowi tersebut menjadi penegasan bahwa islah, kesadaran moral, dan kepentingan umat harus menjadi kunci utama untuk mengakhiri polemik dualisme PBNU serta menjaga kehormatan organisasi.***





