Kami sangat beruntung karena keluarga ini murah senyum. Rumah yang sempit itupun menjadi lega, meskipun secara angka banyak penduduknya. Itulah satu-satunya yang hakiki dari Allah, bahwa ukuran kebahagiaan itu hospitality. Pemerintah Indonesia harus banyak bersyukur karena warganya diteduhi oleh keramahan. Mereka sangat qanaah dengan kondisi yang ada. Padahal, ada banyak hak yang tidak dipenuhi oleh Negara.
Masyarakat dibiarkan bertarung bebas. Si kaya semakin merajalela, sementara si miskin “semakin” merana. Di level atas, hanya seribu keluarga yang menguasai ekonomi Indonesia. Di level bawah, sudah tak ada lagi yang bisa diperas. Di tengah-tengah malah saling menginjak dengan sesame saudara. Mana ada perenang sungai bisa mengalahkan perenang professional, kecuali atas semangat dan izin Allah.
Kami berdo’a dalam hati, semoga keluarga ini tetap diberkahi oleh Yang Kuasa. Betapapun sempitnya dunia, tidak akan berarti apa-apa kalau Allah telah melapangkan dada. Semoga ada kesadaran untuk berpendidikan. Satu-satunya jalan untuk melakukan perbaikan keadaan adalah keterdidikan. Jangan bertarung dalam kekayaan dunia, karena hanya akan menyengsarakan masyarakat pinggiran. Tapi dengan ilmu, semua dimungkinkan.
Dalam perjalanan, sambil menuju keluarga kelima, kami mengelus dada. Hanya itu yang kita bisa. Hanya Engkau Yang Serba Bisa. Oleh karena itu, kami haturkan sebanyak-banyaknya do’a, Semoga semua yang mengingat-Mu di pagi dan sore, dalam keadaan lapang maupun sempit, berbalas kebahagian yang paripurna. Hal ini akan menjadi modal untuk menyelesaikan tugas dunia.
Di keluarga kelima, ada sedikit enggan untuk masuk. Hal itu karena penampilan rumahnya yang tidak masuk dalam bayangan. Tentu bukan karena pembedaan, tapi tentang ukuran yang sudah dipatok (setting) sejak start di keberangkatan. Namun, karena sudah berada di depan rumahnya, silaturahmi harus tetap jalan. Toh ini hanya sebuah usaha dan permulaan. Sisanya harus diserahkan kepada Yang Memiliki Keputusan.