Menu

Mode Gelap
 

Dari Protes ke Krisis: Mengapa Rakyat Kian Tak Percaya Pada Aparat?

- Nusakata

14 Oct 2025 08:01 WIB


					Foto : Noershofy Sya’ban Triannisa (Ist) Perbesar

Foto : Noershofy Sya’ban Triannisa (Ist)

Suara Rakyat, Cermin Demokrasi

Dalam sistem demokrasi, aksi protes merupakan bentuk partisipasi politik yang sah dan dijamin oleh konstitusi. Melalui demonstrasi, masyarakat menyampaikan aspirasi, kritik, dan harapan terhadap kebijakan pemerintah. Namun, dinamika di lapangan sering kali memperlihatkan bahwa protes dapat berkembang menjadi ketegangan sosial apabila tidak dikelola dengan komunikasi yang terbuka dan pendekatan yang tepat.

Fenomena tersebut terlihat dalam peristiwa Demonstrasi 2025 di Indonesia, ketika sejumlah aksi massa yang awalnya berlangsung damai berujung pada gesekan antara masyarakat dan aparat keamanan. Situasi ini menimbulkan perdebatan publik mengenai cara negara merespons aspirasi rakyat serta sejauh mana aparat mampu menjaga keseimbangan antara tugas menjaga ketertiban dan menghormati hak-hak warga negara.

 

Ketika Kepercayaan Dipertaruhkan

Salah satu dampak terbesar dari peristiwa ini adalah menurunnya tingkat kepercayaan sebagian masyarakat terhadap aparat negara. Beberapa laporan media dan pemantau independen menyoroti adanya tindakan pengamanan yang dinilai berlebihan, seperti penggunaan gas air mata dan penangkapan peserta aksi. Tindakan tersebut memunculkan persepsi bahwa aparat lebih condong pada kepentingan kekuasaan daripada kepentingan rakyat.

 

Tiga hal yang sering menjadi sorotan publik antara lain:

1. Penanganan protes damai yang tidak proporsional. Penggunaan kekuatan dalam situasi yang relatif terkendali sering dianggap mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

2. Kesenjangan komunikasi antara rakyat dan institusi negara. Aspirasi masyarakat belum sepenuhnya diterima sebagai masukan konstruktif, melainkan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas.

3. Krisis legitimasi lembaga. Ketika aparat dianggap tidak netral, kepercayaan terhadap fungsi negara sebagai pelindung rakyat ikut tergerus.

Di sisi lain, aparat juga menghadapi tekanan besar untuk memastikan ketertiban dan mencegah potensi kerusuhan. Dalam situasi yang cepat berubah di lapangan, keputusan yang diambil kerap berada di area abu-abu antara keamanan dan kebebasan. Di sinilah letak dilema yang perlu dikelola dengan kebijakan komunikasi dan pelatihan yang lebih humanis.

 

Dari Lapangan ke Persepsi Publik

1. Tahap Protes

Demonstrasi 2025 berawal dari keresahan masyarakat terhadap kebijakan ekonomi dan isu tata kelola pemerintahan. Aksi-aksi tersebut dilakukan di berbagai daerah dengan tuntutan transparansi, pemberantasan korupsi, serta perlindungan terhadap kelompok rentan. Pada tahap ini, massa aksi menunjukkan sikap damai dan tertib, menandakan adanya harapan agar pemerintah mau mendengar aspirasi secara terbuka.

 

2. Respons Aparat

Ketika jumlah massa meningkat, aparat keamanan dikerahkan untuk mengawal jalannya aksi. Namun, di beberapa titik, terjadi gesekan yang menyebabkan penggunaan tindakan pembubaran dan pengendalian massa. Pihak aparat beralasan langkah tersebut diambil untuk mencegah potensi kericuhan, sedangkan sebagian masyarakat menilai tindakan itu terlalu keras. Perbedaan persepsi inilah yang kemudian memperlebar jarak komunikasi antara aparat dan warga, serta memicu munculnya opini publik yang beragam.

 

3. Tahap Krisis Kepercayaan

Situasi menjadi lebih kompleks ketika ketegangan antara aparat dan massa aksi diartikan sebagai simbol ketidaknetralan negara. Isu kepercayaan publik terhadap institusi keamanan pun mencuat. Dalam pandangan sebagian masyarakat, aparat belum sepenuhnya menunjukkan pendekatan humanis dalam menghadapi aksi sosial. Namun, sejumlah pengamat menilai bahwa generalisasi terhadap seluruh aparat juga tidak adil, mengingat banyak anggota yang tetap berupaya menjaga keamanan dengan profesionalisme tinggi.

Krisis kepercayaan yang muncul menunjukkan pentingnya membangun komunikasi dua arah antara masyarakat dan institusi negara. Tanpa kepercayaan, kebijakan pemerintah dan langkah keamanan apa pun akan mudah dipersepsikan secara negatif.

 

Menjahit Ulang Kepercayaan

Peristiwa Demonstrasi 2025 menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Aksi protes rakyat merupakan ekspresi demokratis yang seharusnya dikelola dengan pendekatan dialogis, bukan semata-mata melalui pengamanan ketat. Di sisi lain, masyarakat juga perlu memastikan bahwa penyampaian aspirasi dilakukan dengan tertib, menghormati hukum, serta menghindari provokasi yang dapat menimbulkan kericuhan.

Kepercayaan publik terhadap aparat merupakan fondasi penting bagi stabilitas politik dan keamanan nasional. Oleh karena itu, pendekatan humanis, komunikasi yang terbuka, serta transparansi kebijakan publik perlu diperkuat agar aksi protes tidak lagi berujung pada krisis sosial. Aparat dan masyarakat sesungguhnya memiliki tujuan yang sama menjaga keadilan dan ketertiban dalam bingkai demokrasi. Hanya dengan saling memahami peran masing-masing, kepercayaan yang sempat retak dapat kembali dibangun.

 

Ditulis oleh: Noershofy Sya’ban Triannisa Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA.

Baca Lainnya

Politik Pangan dan Hari Tani

14 October 2025 - 08:40 WIB

Peristiwa Politik Pemilu Presiden 2024 : Dampak dan Harapan bagi Indonesia

10 October 2025 - 17:02 WIB

Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum USN : Adam Jordan Kecam Tindakan Represif

30 August 2025 - 10:01 WIB

Bahaya Menaruh Seluruh Hidup pada Satu Hati

27 August 2025 - 08:14 WIB

Murid SMP Tak Bisa Membaca, SMA Tak Bisa Hitung: Hipnoterapi Sebagai Alternatif Solusi Pelajar Indramayu

20 August 2025 - 17:55 WIB

Refleksi HUT ke-80 RI: Sehat Mental, Wujud Merdeka yang Sesungguhnya

17 August 2025 - 07:21 WIB

Trending di Opini