NUSAKATA.COM – Suatu malam di Madinah, Gus Dur dan KH. Said Aqil Siradj baru saja menuntaskan ziarah. Setelah memanjatkan doa di Raudhah, keduanya belum juga kembali untuk beristirahat.
Tanpa diduga, Gus Dur mengajak KH. Said Aqil keluar.
“Yuk, kita jalan sebentar,” ucapnya singkat.
Mereka menelusuri sejumlah masjid di Kota Nabi. Namun langkah itu bukan sekadar untuk menikmati suasana malam. Gus Dur memiliki maksud tertentu: mencari seorang wali Allah.
Di sebuah masjid, KH. Said Aqil melihat seorang pria bersorban putih sedang mengajar para santri. Raut wajahnya tenang, tutur katanya lembut. Ia pun berbisik,
“Gus, apakah dia wali?”
Gus Dur hanya menggeleng.
“Bukan.”
Perjalanan berlanjut. Di tempat lain, tampak seorang lelaki dengan dahi menghitam karena sering bersujud. KH. Said Aqil kembali bertanya,
“Kalau yang ini?”
Gus Dur kembali menjawab singkat,
“Bukan.”
Hingga akhirnya Gus Dur berhenti. Di sudut masjid terlihat seorang pria bersorban sederhana, duduk bersimpuh di atas sajadah. Ia tidak mengajar, tidak pula dikelilingi orang, hanya larut dalam kekhusyukan. Dikutif berbagai sumber. Selasa, (30/12/2025).
Gus Dur menunjuknya pelan.
“Dialah wali itu.”
KH. Said Aqil terdiam. Sosok tersebut terlihat biasa saja, bahkan nyaris tak mencolok. Setelah mendekat, mereka memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan: memohon doa dari seorang wali Allah di tanah suci Madinah.
Orang itu mengangkat kedua tangannya dan mendoakan Gus Dur agar selalu berada dalam ridha Allah, diampuni segala dosanya, serta diberi keberkahan dan kesuksesan dalam hidup.
Usai berdoa, sang wali berdiri lalu melangkah pergi perlahan sambil membawa sajadahnya, menggumam lirih seolah enggan dikenal atau dipuji.
Malam Madinah kembali hening. Gus Dur dan KH. Said Aqil pun pulang dengan sebuah hikmah mendalam:
wali Allah kerap hadir dalam kesederhanaan, tersembunyi di balik ketulusan yang tak mencari pengakuan.





