NUSAKATA.COM – Di tengah derasnya arus sungai yang meluap, beberapa anak kecil tampak berjalan pelan sambil menggenggam tangan teman dan gurunya. Bukan untuk liburan, bukan untuk bermain mereka sedang berjuang menuju lokasi lomba senam yang di selenggarakan oleh PGRI Orong Telu. Momen ini terlihat indah dalam kamera, namun menyakitkan dalam kenyataan: di balik senyum mereka, negara sedang absen.
Inilah potret asli pedalaman Orong Telu. yang hingga hari ini masih harus berdamai dengan jalan rusak, jembatan datar, dan sungai yang setiap musim hujan berubah menjadi ujian keberanian. Jarak antar desa yang terjal, serta cuaca ekstrem seolah menjadi “rutinitas” yang masyarakat harus terima, meski kenyataannya mereka tidak pernah benar-benar diberi pilihan.
Lalu pertanyaannya: sejak kapan keselamatan anak-anak dianggap hal yang bisa dinegosiasikan?
Bukankah ini adalah wilayah Indonesia yang sah, yang dijanjikan hak pendidikan dan infrastruktur layak oleh konstitusi?
Di mana tanggung jawab negara ketika akses jalan masih mengandalkan batu, tanah, serta aliran sungai yang sewaktu-waktu meluap? Mengapa keselamatan anak-anak pedalaman seolah tidak menjadi prioritas?
Orong Telu sudah lama dikenal dengan cuacanya yang ekstrem, perbukitan curam, dan jarak antar-desa yang jauh. Semestinya kondisi geografis seperti ini membuat pemerintah lebih cepat bergerak, bukan justru menunggu hingga anak-anak menjadi korban. Namun faktanya, jalan penghubung masih banyak yang rusak, jembatan tak kunjung dibangun, dan akses menuju kegiatan pendidikan sering mengandalkan keberanian, bukan fasilitas.
Lalu siapa yang bertanggung jawab?
Pemerintah daerah? Pemerintah provinsi? Wakil rakyat? Atau mereka semua yang setiap pemilu datang membawa janji, tetapi setelahnya tak pernah benar-benar kembali?
Yang paling ironis adalah: anak-anak justru menjadi simbol harapan yang bekerja paling nyata.
Tanpa fasilitas memadai, mereka tetap menantang derasnya sungai demi mengikuti lomba senam PGRI Orong Telu. Keberanian ini bukan sekadar semangat berkompetisi ini adalah tamparan bagi pihak-pihak yang seharusnya hadir, namun memilih diam.
Kisah anak-anak Orong Telu ini bukti bahwa negara belum sepenuhnya hadir. Mereka menantang sungai demi hak pendidikan, sementara infrastruktur dasar masih jauh dari layak.
Pemerintah harus berhenti memberi janji dan mulai membuktikan tanggung jawabnya.
Orong Telu tidak meminta kemewahan hanya jalan yang aman, jembatan yang layak, dan perhatian yang setara.
Jika hari ini anak-anak bergerak lebih dulu daripada pejabatnya, maka ada yang sangat keliru dalam prioritas pembangunan.
Ditulis : Doni Sanjaya Saputra





