NUSAKATA.COM — Sejumlah ketentuan dalam KUHAP baru kembali mendapatkan perhatian publik. Setelah Ketua Umum PC PMII Kabupaten Serang menilai bahwa pasal-pasal tertentu dapat membuka ruang lebih besar bagi tindakan koersif aparat tanpa mekanisme pengawasan yang kuat.
Pasal yang menjadi sorotan mencakup Pasal 1 ayat 34, Pasal 124, Pasal 132A, Pasal 112A, serta Pasal 5—yang dipandang menyimpan persoalan serius dalam hal perlindungan hak warga negara.
Menurut para penulis yang juga Ketua Umum PC PMII Kabupaten Serang, kelima pasal tersebut memperlihatkan satu pola yang sama: negara diberi kewenangan yang semakin luas, sementara kontrol terhadap penggunaannya justru melemah.
“KUHAP seharusnya melindungi warga dari tindakan sewenang-wenang, tetapi beberapa pasal ini justru membuat perlindungan itu semakin rapuh,” ujar Refal. Rabu, 20 November 2025.
Pasal 1 Ayat 34: Ruang Lingkup Upaya Paksa Dinilai Terlalu Leluasa
Pasal ini memasukkan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penyadapan, pemblokiran, hingga larangan bepergian ke dalam definisi upaya paksa.
Menurut Refal, penyadapan dan pemblokiran seharusnya berada dalam kategori tindakan yang sangat terbatas, bukan disamakan dengan tindakan rutin.
“Ketika tindakan seperti penyadapan dan pemblokiran langsung dimasukkan dalam definisi dasar tanpa syarat yang ketat, itu bukan sekadar perubahan istilah—itu mengubah cara kerja kekuasaan,” jelasnya.
Pasal 124: Upaya Paksa Tanpa Penguatan Peran Hakim
Pasal 124 mengatur penggunaan upaya paksa, tetapi tidak menegaskan secara kuat posisi hakim sebagai pengawas utama.
Bagi Refal, ketiadaan kewajiban izin hakim dalam tindakan yang paling intrusif adalah persoalan besar.
“Semestinya pasal ini mempertegas bahwa hakim adalah benteng utama hak warga. Jika perannya dikesampingkan, upaya paksa menjadi alat yang tidak terkendali,” katanya.
Pasal 132A: Pemblokiran Aset Berpotensi Jadi Tekanan
Pasal ini memberi kewenangan pemblokiran rekening, harta benda, hingga informasi digital.
Namun, hubungan antara pemblokiran dengan tindak pidana dinilai masih kabur sehingga bisa disalahgunakan sebagai bentuk tekanan.
“Pemblokiran aset tanpa syarat relevansi yang kuat itu sama saja menghukum seseorang sebelum pengadilan memutuskan. Ini bisa menjadi alat tekanan ekonomi,” tegas Refal.
Ia menyebut pasal ini sebagai salah satu ketentuan paling rawan penyalahgunaan.
Pasal 112A: Penyadapan Tanpa Kepastian Izin Hakim
Aturan mengenai penyadapan dianggap bermasalah karena mekanisme perizinannya justru diserahkan kepada undang-undang lain, bukan ditegaskan langsung dalam KUHAP.
“Penyadapan adalah tindakan paling invasif. Tetapi KUHAP baru tidak secara eksplisit mewajibkan izin hakim. Celah semacam ini bisa berubah menjadi alat kontrol yang tidak terawasi,” ujarnya.
Pasal 5: Landasan KUHAP yang Tidak Tegas Soal Hak Tersangka
Sebagai ketentuan umum, Pasal 5 seharusnya menjadi pondasi penguatan prinsip HAM dalam proses pidana. Namun, menurut Refal, pasal tersebut justru tidak secara jelas menegaskan hak tersangka maupun prinsip peradilan yang adil.
“Pasal ini mestinya menjadi deklarasi perlindungan hak dasar warga. Kalau dasar ini saja tidak kuat, keseluruhan KUHAP pun ikut rapuh,” ungkapnya.
Seruan Penolakan terhadap RUU KUHAP
Refal menilai kelima pasal tersebut menunjukkan kecenderungan KUHAP baru yang lebih memusatkan kekuasaan pada negara daripada menjamin hak warga negara.
“Jika KUHAP disahkan tanpa koreksi, kita sedang membuka jalan menuju pola penegakan hukum yang lebih represif. Banyak celah yang bisa menjadi pembenar bagi tindakan sewenang-wenang, dan pada akhirnya #semuabisakena,” tutupnya.
Ia menegaskan bahwa penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah itu harus dilakukan sebelum kekhawatiran tersebut benar-benar terjadi. KUHAP, menurutnya, seharusnya menjadi alat perlindungan warga—bukan alat tekanan. ***





