Menu

Mode Gelap
 

Politik Pangan dan Hari Tani

- Nusakata

14 Oct 2025 08:40 WIB


					Politik Pangan dan Hari Tani. Foto : Ditulis oleh: Repina Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng TIrtayasa Perbesar

Politik Pangan dan Hari Tani. Foto : Ditulis oleh: Repina Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng TIrtayasa

Peringatan Hari Tani Nasional pada 24 September 2025 kembali diwarnai dengan aksi demonstrasi yang digelar oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari petani, nelayan, hingga mahasiswa.

Aksi ini berlangsung di depan Gedung DPR dan kawasan Monas, Jakarta. Mereka membawa beragam spanduk dan poster yang berisi tuntutan agar pemerintah lebih serius dalam membenahi persoalan pangan nasional.

Isu utama yang diangkat dalam aksi tersebut adalah kenaikan harga pupuk, rendahnya harga gabah di tingkat petani, dan tingginya harga beras di pasaran. Ketimpangan harga ini dinilai tidak adil karena petani sebagai produsen justru tidak menikmati keuntungan yang layak.

Di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen pun ikut terbebani karena harga pangan terus melonjak. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan pangan di Indonesia masih belum berpihak pada keadilan sosial.

Banyak peserta aksi menyampaikan bahwa situasi ini semakin diperparah oleh keterbatasan lahan pertanian. Lahan yang semula subur dan produktif kini banyak beralih fungsi menjadi kawasan industri atau perumahan. Akibatnya, petani kehilangan sumber penghasilan dan semakin terpinggirkan. Mahalnya harga sewa lahan serta sulitnya akses terhadap pupuk subsidi juga menambah berat beban para petani di lapangan.

Dalam aksi tersebut, beberapa kelompok massa memilih untuk lesehan di sekitar area Monas, membentangkan tikar dan menebar karung beras sebagai simbol perjuangan mereka. Aksi teatrikal itu menggambarkan kehidupan petani yang sederhana namun tetap tegar memperjuangkan haknya.

Mereka juga menyerukan agar pemerintah tidak hanya menggembar-gemborkan program “pangan gratis”, tetapi benar-benar memastikan kebijakan itu tepat sasaran dan tidak menambah beban anggaran negara tanpa solusi jangka panjang.

Selain petani, mahasiswa Fakultas Pertanian dari berbagai universitas turut hadir untuk memberikan dukungan moral. Mereka menilai bahwa persoalan pangan bukan hanya urusan produksi, tetapi juga menyangkut kesejahteraan manusia.

Menurut para mahasiswa, politik pangan harus diarahkan pada kemandirian bangsa, bukan sekadar memenuhi kebutuhan jangka pendek. Momentum Hari Tani Nasional kali ini menjadi pengingat bahwa perjuangan petani bukan hanya soal hasil panen, tetapi juga soal keadilan dan pengakuan atas peran vital mereka dalam kehidupan bangsa.

Para peserta aksi berharap pemerintah dapat membuka ruang dialog dengan masyarakat tani, mendengarkan langsung aspirasi mereka, dan menghadirkan kebijakan yang berpihak. Jika masalah pangan tidak segera dibenahi, dikhawatirkan Indonesia akan terus bergantung pada impor dan semakin rentan terhadap krisis global.

Padahal, negeri ini memiliki potensi alam yang besar untuk menjadi negara agraris yang mandiri dan sejahtera. Dengan perhatian dan kebijakan yang tepat, cita-cita kedaulatan pangan bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.

 

Dalam aksinya, massa menyampaikan sejumlah permasalahan yang mereka hadapi:

1. Mahalnya Biaya Produksi Petani

Petani menuntut solusi atas mahalnya pupuk, pestisida, dan benih yang membuat biaya produksi membengkak dari tahun ke tahun. Kenaikan harga ini tidak sebanding dengan hasil panen yang mereka terima, sehingga banyak petani jatuh pada kerugian. Kondisi tersebut membuat sebagian petani bahkan terpaksa mengurangi luas lahan garapan karena tidak mampu menanggung biaya.

Mereka berharap pemerintah segera menyalurkan subsidi tepat sasaran dan memastikan distribusinya merata hingga ke pelosok desa. Tanpa subsidi yang adil, petani akan terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

 

2. Harga Gabah dan Hasil Panen Yang Tidak Adil

Harga gabah yang diterima petani masih sangat rendah dan tidak cukup untuk menjamin kehidupan yang sejahtera. Padahal, harga beras di pasaran terus naik akibatnya petani tidak mendapat keuntungan yang layak, sementara justru tengkulak dan rantai distribusi yang paling diuntungkan. Para petani menilai pemerintah sampai sekarang belum benar-benar berpihak kepada mereka sebagai produsen utama pangan bangsa.

Massa mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan harga gabah yang adil bagi petani kecil. Mereka berharap adanya penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang lebih tinggi, supaya hasil panen petani bisa dibeli dengan harga yang layak. Dengan begitu, petani bisa tetap melanjutkan usaha tani mereka secara terus-menerus.

 

3. Kedaulatan Pangan Nasional

Gerakan tani menekankan bahwa kedaulatan pangan bukan sekedar jargon politik, melainkan kebutuhan nyata bagi rakyat Indonesia. Mereka menolak kebijakan pangan yang merugikan petani kecil, sebab hal ini hanya melemahkan posisi petani lokal.

Massa mendesak pemerintah untuk lebih serius mengembangkan produksi pangan dalam negeri melalui dukungan sarana produksi, sistem distribusi yang adil, serta perluasan akses pasar yang lebih luas. Dengan kebijakan yang berpihak pada petani, cita-cita kedaulatan pangan nasional bisa benar-benar terwujud dan tidak hanya menjadi wacana belaka.

 

4. Ruang Tangkap Nelayan Yang Menyempit

Nelayan kecil menghadapi masalah serius karena ruang tangkap mereka semakin sempit. Reklamasi pantai, proyek industri pesisir, serta praktik kapal besar yang mendominasi laut membuat nelayan tradisional kesulitan memperoleh hasil tangkapan. Akibatnya, banyak keluarga nelayan hidup dalam ketidakpastian ekonomi.

Mereka menuntut adanya perlindungan dan aturan tegas agar kapal industri besar dan proyek tambang atau reklamasi laut tidak mengambil ruang tangkap nelayan kecil. Pemerintah juga diminta memperhatikan pada penyediaan sarana melaut, akses BBM bersubsidi, serta fasilitas penyimpanan hasil tangkapan. Dengan begitu, nelayan kecil dapat tetap bersaing secara sehat dan hidup lebih sejahtera.

 

5. Perampasan Tanah Masyarakat Adat

Masyarakat adat hingga kini masih menghadapi konflik agraria yang seakan tidak berujung. Lahan mereka dirampas oleh perusahaan tambang, perkebunan skala besar, hingga proyek strategis nasional. Kondisi ini membuat masyarakat adat kehilangan tanah warisan leluhur dan ruang hidup yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Dalam aksi ini, mereka menuntut agar hak atas tanah adat benar-benar ditegakkan, karena sebenarnya sudah dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah didesak untuk segera menghentikan praktik perampasan tanah dan memberikan perlindungan hukum yang nyata. Tanpa pengakuan tersebut, keberlangsungan hidup masyarakat adat dan kearifan lokal mereka terancam hilang.

 

Ditulis oleh: Repina Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng TIrtayasa

Baca Lainnya

Dari Protes ke Krisis: Mengapa Rakyat Kian Tak Percaya Pada Aparat?

14 October 2025 - 08:01 WIB

Peristiwa Politik Pemilu Presiden 2024 : Dampak dan Harapan bagi Indonesia

10 October 2025 - 17:02 WIB

Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum USN : Adam Jordan Kecam Tindakan Represif

30 August 2025 - 10:01 WIB

Bahaya Menaruh Seluruh Hidup pada Satu Hati

27 August 2025 - 08:14 WIB

Murid SMP Tak Bisa Membaca, SMA Tak Bisa Hitung: Hipnoterapi Sebagai Alternatif Solusi Pelajar Indramayu

20 August 2025 - 17:55 WIB

Refleksi HUT ke-80 RI: Sehat Mental, Wujud Merdeka yang Sesungguhnya

17 August 2025 - 07:21 WIB

Trending di Opini