LITERASI | Air kelapa yang kita nikmati saat terik, pasti tidak ditanam tahun lalu. Buah durian yang bergelantung di pinggir jalan, tentu bukan hasil dua atau tiga bulan.
Semua ditanam oleh pendahulu. Bisa saja mereka tidak pernah mencicipi. Tidak pula membayangkan seperti apa rasa dan seberapa mahal harganya. Hanya fokus menanam.
Padahal, perlu waktu panjang. Butuh kesanggupan merawat, agar pohon kelapa dan pohon durian dapat dinikmati banyak orang. Dan yang menanam belum tentu yang memanen.
Mengapa para pendahulu kerap melakukannya? Bahkan di usia senja. Atas dasar pengalaman apa, mereka begitu bijak mewaris tradisi baik ini?
Para tetua sadar, pengalaman mengajari begitu bijak sebuah arti dari makna sebuah warisan. Bahwa apa yang dinikmati hari ini merupakan buah tangan para pendahulu. Tradisi itu terus dirawat, agar sampai cucu-cicit. Bahkan lebih jauh, untuk belasan generasi.
Semua tradisi tidak berdiri sendiri. Ia bertalian. Tidak pernah benar-benar ada yang baru. Bahwa hari ini zaman berubah begitu dahsyat, kalau boleh jujur, ia tetap terilhami masa silam. Percayalah, dunia hanya saling menyempurnakan.
Pun dengan pengetahuan. Apa yang kita dapati tentu sudah dimiliki moyang terdahulu. Dan, semua kebijaksanaan, tidak lahir dari ruang hampa. Semua merupakan warisan.
Kita, manusia yang hidup hari ini, tidak mencipta sesuatu yang baru. Hanya repetisi dan sesekali inovasi. Semua pengalaman, pengetahuan, atau bahkan sekadar informasi, sudah terjadi di masa lampau.
Ragam cara warisan itu sampai ke tangan kita. Melalui pitutur. Melalui praktik langsung. Melalui naskah. Semua dilakukan para pendahulu. Dengan begitu arif.
Tiga cara di atas tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Sementara, naskah merupakan hal terbaik bagi distribusi pengetahuan, pengalaman, dan informasi.
Naskah dicatat oleh mereka yang menguasai suatu pengetahuan. Ditulis untuk, tentu jangka panjang. Bahkan, pemahaman agama yang kita terima, sebagai hasil dari para penulis ratusan tahun silam.
Umat manusia diwarisi ilmu pengetahuan begitu luar biasa. Peninggalan tak terhingga. Diproduksi oleh intelektual yang memiliki kemampuan literasi mumpuni. Melalui kitab-kitab.
Peradaban terus berkembang. Bukan karena kemampuam manusia hari ini super cemerlang. Melainkan lantara goresan pena para pendahulu yang begitu apik menulis serangkaian ilmu.
Literasi menjadi kunci, bukan saja soal peradaban. Lebih jauh, ia menularkan ke pojok terjauh yang tidak bisa dijangkau tangan. Tulisan mampu menembus tembuk paling tebal di belahan dunia.
Umat manusia bisa merawat alam karena saling melengkapi. Penemuan masa silam yang diwarisi melalui tulisan merupakan sebuah khazanah. Dan, peradaban berkembang karena distribusi pengetahuan.
Bayangkan jika hari ini tradisi literasi tidak terjaga. Apa yang terjadi 100 tahun kemudian. Ilmu mati. Jalan di tempat. Setiap orang perlu memulai dari awal yang bisa saja gagal.
Seorang kakek sangat bisa hilang dalam memori cucunya. Pengalaman, penemuan, ilmu pengetahuan, capaian, dan prestasi tidak mungkin sampai tanpa tulisan. Padahal, manusia mati tidak benar-benar mati. Harus mewarisi legacy.
Literasi terbukti memberi andil besar. Bagi keberlangsungan peradaban. Juga masa depan bumi. Tugas selanjutnya: meneruskan yang sudah moyang lakukan. Bahkan mengembangkan.
Barangkali dengan alasan itu, Baletanda terus berupaya meneguhkan niatnya. Fokus pada literasi. Terutama dunia kepenulisan. Melalui kelas menulis, ia ingin mengatakan: kita tidak boleh hidup hanya sampai mati.
Atau, kita tidak hanya dikenal saat hidup. Dengan tulisan, setiap orang akan abadi, sampai tak terhingga. Melalui serangkaian karya. Semoga!
Sementara, saya hanya bisa mengawal generasi muda untuk terus belajar menulis. Menularkan pengetahuan agar lebih bermanfaat. Sesekali mendampingi Baletada agar tetap istikomah.
Kemampuan membaca, menulis, dan berbicara bukan hanya keterampilan untuk bertahan hidup, ia merupakan cara bagaimana dunia terus ada. Peradaban semakin berkembang. Dan, umat manusia semakin sejahtera.
Tanpanya, kita tidak bisa membayangkan apa yang terjadi. Bahwa hari ini setiap kita bisa bertahan hidup, itu semata karena apa yang kita baca, kita lihat, dan kita dengar dari orang-orang terdahulu.
Melalui literasi, hajat hidup orang banyak terus terjaga. Dengan itu pula, keberlangsungan dunia masih tetap berjalan. Dan, manusia modern tidak boleh berhenti memproduksi karya. Literasi harus terus berkembang. Untuk masa depan kehidupan.