Menu

Mode Gelap
 

Pasar Bukan Sekadar Tempat Jual-Beli

- Nusanews.co

14 Jun 2025 09:07 WIB


					Penulis. Subandi Musbah* Perbesar

Penulis. Subandi Musbah*

NUSAKATA.COM – PASAR | Ada satu tempat yang selalu hidup. Bahkan ketika kota masih terkantuk-kantuk. Di sanalah, suara tawar-menawar mengalahkan dering alarm pagi. Di sana pula, kita bisa mencium bau ikan, aroma rempah, dan kadang, bau kehidupan itu sendiri.

Tempat itu ialah pasar. Bukan sekadar tempat jual-beli. Pasar merupakan ruang sosial. Lokasi orang bercakap, bertukar kabar, bahkan bertukar rasa. Sayangnya, kehidupan di pasar tidak selalu tertata. Banyak hal yang tak beres. Namun, di balik semua itu, pasar tetap punya denyut yang sulit digantikan.

Di mana pun, pasar tradisional selalu punya permasalahan yang tak pernah usai. Mulai dari tata ruang yang tidak jelas, hingga pedagang kaki lima yang meluber ke bahu jalan.

Belum lagi sampah yang menumpuk tanpa sistem pengelolaan. Drainase mampet. Atap bocor. Listrik sambung-menyambung. Juga soal macet, becek, kadang semrawut.

Para pedagang mengeluh. Namun. mereka tetap bertahan. Karena dari lapak kecil itulah dapur mereka ngebul. Di sisi lain, pembeli pun mengeluh. Becek, bau, tidak nyaman. Namun, tetap datang. Karena di sanalah harga masih bisa ditawar. Di sana pula sayur segar dan ikan baru datang dari laut.

Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Setiap kali pemerintah melalui perusahaan umum daerah (Perumda) turun tangan menata pasar, selalu ada gelombang reaksi. Tak jarang muncul amarah. Protes. Bahkan air mata.

Padahal, prosesnya tak serta-merta main gusur. Ada tahap sosialisasi. Ada undangan duduk bersama. Pedagang diajak bicara. Solusi dicari. Lokasi relokasi disiapkan. Namun, tetap saja, ada yang merasa dirugikan. Dan itu hal yang wajar.

Penertiban, sebaik apa pun caranya, hampir selalu menyisakan ketidakpuasan. Karena pada dasarnya, kita sedang mengubah kebiasaan. Menata ulang ruang hidup. Dan tidak semua orang siap menghadapi perubahan.

Beberapa pedagang mungkin merasa kehilangan pelanggan karena harus pindah ke dalam pasar yang mungkin sepi pembeli. Ada juga yang merasa lapaknya yang strategis di pinggir jalan tak tergantikan. Bahkan, ada juga yang sudah sewa lahan di bahu jalan dengan harga puluhan juta.

Di sinilah tantangan terbesarnya: Bagaimana menata tanpa mematikan. Bagaimana menertibkan tanpa mengusir. Perlu pendekatan yang tidak hanya berbasis aturan, tapi juga empati.

Penertiban bukan soal menggulung tenda dan menyita barang dagangan. Namun, tentang bagaimana menyeimbangkan hak publik atas ruang dengan hak rakyat kecil untuk bertahan hidup.

Kalau semua pihak bisa saling mendengar, saling memahami, bukan tidak mungkin penertiban justru jadi pintu masuk bagi pasar yang lebih sehat. Dan, lebih manusiawi.

Bahkan, ada di beberapa pasar, penertiban dilakukan dengan keras. Penggusuran, tenda digulung, gerobak ditarik, sampai barang dagangan disita. Alasannya, ketertiban. Namun, pendekatannya kadang lupa pada kemanusiaan.

Padahal, pasar bukan hanya tempat dagang. Ia merupakan ruang hidup. Sumber nafkah ribuan orang. Mengusir mereka tanpa solusi, sama saja memutus nadi kehidupan mereka.

Pasar seharusnya dikelola dengan serius. Sayangnya, yang terjadi sering sebaliknya. Banyak pasar dikelola tanpa konsep. Setengah hati. Tanpa data. Tanpa pemahaman akan dinamika ekonomi mikro.

Beberapa pasar bahkan dikuasai oleh kelompok tertentu. Lapak-lapak disewakan dengan harga tinggi. Oknum masuk. Uang pungli mengalir. Pedagang kecil tercekik. Tidak punya daya tawar. Padahal, pasar bisa menjadi sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang luar biasa. Namun, karena pengelolaan buruk, justru jadi beban.

Lebih parah lagi, tidak ada manajemen kebersihan. Tidak ada sistem pengelolaan limbah. Tidak ada pelatihan pedagang. Tidak ada pemeliharaan bangunan. Pasar dibiarkan tua, seperti tidak punya masa depan.

Jika saja pengelolaan pasar dilakukan secara profesional, pasar bisa menjadi wajah daerah. Menjadi ikon budaya. Tempat wisata belanja. Bahkan bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi lokal.

Bayangkan jika pasar kita bersih, rapi, tapi tetap merakyat. Bayangkan ada wifi gratis, ada ruang laktasi, ada pengolahan sampah terpadu. Ada pelatihan digital bagi pedagang. Ada sistem pembayaran QRIS yang memudahkan transaksi.

Bayangkan pasar sebagai tempat belajar. Bukan hanya ekonomi, tapi juga budaya. Pasar bisa menjadi sekolah kehidupan. Tempat anak muda belajar tentang kerja keras, kejujuran, nilai tukar dan daya beli.

Namun, semua itu hanya bisa terjadi kalau ada niat bersama. Pemerintah yang punya visi. Pengelola yang punya hati. Pedagang yang mau berkembang. Dan pembeli yang terus percaya.

Untuk itu, mari kita rawat pasar kita. Bukan sekadar bangunannya. Melainkan semangatnya. Jiwa sosialnya. Budayanya. Karena pasar bukan sekadar tempat jual beli. Ia tempat bertumbuhnya kehidupan.

Dan seperti kata orang tua dulu: Kalau ingin tahu watak sebuah daerah, lihatlah pasarnya. Di sanalah semua wajah kehidupan berkumpul.

Ditulis oleh: Subandi Musbah, Direktur Visi Nusantara.

Baca Lainnya

Diduga Pembangunan Toilet SMPN 3 Picung Retak-Retak, Kata Somasi Kepada Jurnalis Muncul

1 July 2025 - 10:47 WIB

CV. Falaha Dahril Diapresiasi Warga Kampung Sawit Dua, Desa Taman Sari

1 July 2025 - 06:17 WIB

Bupati Lahat Lantik 2.126 Pegawai PPPK Formasi Tahun 2024

1 July 2025 - 06:01 WIB

Mahasiswa Desak Kepala DPUPR Lebak Mundur, Gerbang Kantor Diterobos

30 June 2025 - 20:19 WIB

Calon Sekretaris Daerah Pandeglang Banyak Dipertanyakan

30 June 2025 - 12:54 WIB

PC PMII Kabupaten Serang Sukses Gelar Pelatihan Kader Lanjut (PKL) II di Yayasan Ikhlas Salman Al-Farisiy

30 June 2025 - 06:54 WIB

Trending di Daerah