NUSAKATA.COM – Radikalisme saat ini bukan sekadar isu ideologis, tetapi menjadi ancaman serius terhadap kesejahteraan sosial dan psikologis masyarakat Indonesia.
Di tengah kemajuan teknologi dan pesatnya akses informasi, kelompok radikal memanfaatkan ruang digital untuk menyebarkan intoleransi, hoaks, dan ujaran kebencian. Bahkan, paham ekstrem ini mulai menyasar pelajar dan mahasiswa, yang seharusnya menjadi garda depan pembawa nilai-nilai Pancasila.
Radikalisme tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia lahir dari ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, serta krisis identitas yang dialami generasi muda.
Ketika individu merasa tidak memiliki masa depan, mereka rentan terhadap ideologi ekstrem yang menjanjikan “perubahan” cepat, meski dengan jalan kekerasan. Rais (1987) menyebut bahwa radikalisme tumbuh subur dari rasa putus asa dan fatalisme sosial.
Tak jarang, paham ini berkembang menjadi tindakan terorisme, menyasar simbol negara maupun warga sipil tak berdosa. Dampaknya bukan hanya luka fisik, tetapi juga luka psikologis mendalam.
Seperti dijelaskan oleh Adams dan Boscarino (2005), terorisme menimbulkan trauma jangka panjang pada individu dan kolektif masyarakat, mulai dari kecemasan hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Penegakan hukum memang menjadi langkah penting. Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang memperkuat kewenangan aparat dalam menangani pelaku maupun penyebar ideologi teror.
Selain itu, Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi dasar hukum untuk membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Namun, pendekatan represif semata tidak cukup. Diperlukan strategi pencegahan melalui pendidikan karakter, literasi digital, pemberdayaan ekonomi, serta pendekatan deradikalisasi berbasis sosial-budaya.
Sekolah, kampus, tokoh agama, dan komunitas lokal harus dilibatkan secara aktif untuk membentengi masyarakat, terutama generasi muda, dari paparan ideologi radikal.
Radikalisme adalah masalah lintas sektor politik, ekonomi, sosial, dan psikologis. Oleh karena itu, solusinya juga harus bersifat lintas sektor dan kolaboratif. Hanya dengan kerja bersama, kita dapat menjaga integrasi sosial dan kesehatan mental bangsa dari dampak destruktif paham radikal.
Penulis : Muhammad Jatri (Mahasiswa universitas pamulang)