NUSAKATA.COM. — Ketua Komite Percepatan Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KP4S), Zakaria Surbani, Sangat menyayangkan penahanan enam aktivis mahasiswa dari aliansi Cipayung Plus Kabupaten Bima oleh pihak kepolisian. Para aktivis ini sebelumnya terlibat dalam aksi menyuarakan percepatan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS)—sebuah isu strategis yang telah lama menjadi aspirasi masyarakat di wilayah ini.
Keenam mahasiswa berasal dari tiga organisasi kemahasiswaan: PMII, HMI, dan IMM. Mereka dikenal sebagai elemen kritis yang konsisten mendorong isu-isu kerakyatan melalui jalur aspiratif dan konstitusional.
Zakaria menyampaikan bahwa tindakan aparat yang menahan para aktivis tersebut patut disesalkan, karena justru mencerminkan kegagalan negara dalam merespons partisipasi aktif warga negara dalam demokrasi.
“Kami sangat menyayangkan penahanan ini. Mahasiswa sedang memperjuangkan kepentingan masyarakat. Aksi mereka dilindungi oleh konstitusi dan undang-undang. Penahanan semacam ini mengancam kebebasan sipil,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa setiap tindakan mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Jika di lapangan muncul reaksi keras dari massa, menurutnya hal itu tidak bisa dilepaskan dari akar masalah yang lebih dalam: buruknya pelayanan pemerintah terhadap suara rakyat.
“Perlu digarisbawahi: reaksi tidak akan ada tanpa aksi. Jika muncul tindakan reaktif dari massa, itu adalah bentuk kekecewaan atas minimnya ruang dialog dan buruknya respons pemerintah terhadap tuntutan masyarakat Pulau Sumbawa yang disuarakan oleh mahasiswa,” tegas Zakaria.
Menurutnya, pemerintah seharusnya membuka ruang komunikasi yang lebih luas dan responsif terhadap perjuangan mahasiswa, bukan justru mempersempitnya melalui pendekatan represif.
Zakaria menilai bahwa tuntutan yang disampaikan mahasiswa bukanlah tuntutan personal, melainkan aspirasi kolektif rakyat yang menginginkan hadirnya pemerintahan yang lebih dekat, adil, dan merata melalui pembentukan provinsi baru.
Lebih lanjut Zakaria mendesak agar pihak kepolisian meninjau ulang penahanan tersebut dan memastikan bahwa proses hukum tidak dijadikan alat untuk membungkam suara mahasiswa.
“Mahasiswa bukan pelanggar hukum. Mereka adalah bagian dari rakyat yang sedang berteriak karena selama ini tidak didengar,” pungkasnya.