NUSAKATA.COM – Gubernur Banten Andra Soni memasuki 100 hari pertama kepemimpinannya dengan semangat besar: membenahi infrastruktur, membebaskan pendidikan menengah dari biaya, memperbaiki layanan kesehatan, dan memberantas pungutan liar.
Sejumlah capaian memang telah diraih. Program “Bangun Jalan Desa Sejahtera” dimulai, 811 sekolah swasta ikut Program Sekolah Gratis, dan RSUD baru diresmikan di Lebak dan Pandeglang.
Tapi seperti biasa, angka dan program bukan satu-satunya ukuran keberhasilan.
Sebagai aktivis yang sehari-hari mendampingi kelompok rentan, saya menyaksikan sendiri betapa semangat pembangunan sering kali melupakan dimensi gender.
Di tengah euforia gebrakan infrastruktur dan janji ekonomi kerakyatan, tak banyak yang bertanya: apakah pembangunan ini menjawab kebutuhan perempuan, anak, dan penyandang disabilitas? Apakah jalan yang dibangun memperhitungkan akses dan keamanan perempuan? Apakah RSUD yang diresmikan memiliki layanan kesehatan reproduksi yang memadai? Apakah Program Sekolah Gratis juga disertai upaya menjaga anak perempuan tetap belajar dan terhindar dari pernikahan dini?
Banten selama ini cukup progresif dalam kerangka kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG). Pemerintah Provinsi telah meraih penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya kategori Utama, membentuk Pokja PUG, dan mengembangkan program pendampingan seperti “Katiban Inten”.
Namun, capaian formal tak selalu berbanding lurus dengan implementasi lapangan. Banyak OPD masih melihat PUG sebagai pekerjaan “sampingan”—bukan kerangka utama pembangunan. Di tengah semangat Andra Soni untuk mengefisiensikan anggaran, jangan sampai PUG justru dikorbankan karena dianggap tidak “produktif secara politis”.
Belum lagi soal representasi. Jumlah perempuan di DPRD Banten belum memenuhi 30 persen. Padahal, komitmen terhadap kesetaraan bukan hanya soal pelibatan simbolik, tetapi menciptakan ruang pengambilan keputusan yang betul-betul adil dan setara.
Saya tidak melihat adanya langkah konkret dari Andra Soni untuk mendorong promosi perempuan dalam birokrasi, atau memprioritaskan pelayanan publik yang sensitif gender. Kalaupun ada, masih terlalu senyap untuk disebut komitmen.
Sebagian orang menyukai gaya kepemimpinan Andra Soni yang tenang, low profile, dan tidak sibuk membangun citra digital.
Namun kepemimpinan yang transformatif juga menuntut keberanian untuk menyuarakan nilai. Dalam 100 hari ini, saya belum mendengar pidato Gubernur yang menyebut kesetaraan gender sebagai prioritas. Tidak ada pesan simbolik, apalagi langkah strategis yang bisa menjadi rujukan gerakan perempuan di daerah.
Padahal kita tidak butuh banyak—cukup satu kalimat tegas bahwa “pembangunan Banten tidak boleh abai terhadap kebutuhan perempuan dan kelompok rentan”. Itu pun belum terdengar.
Saya tidak menutup mata atas apa yang sudah dicapai. Program Sekolah Gratis, bila dijalankan dengan benar, bisa menjadi penopang masa depan anak perempuan Banten.
Jalan desa yang dibangun dengan pendekatan partisipatif bisa membuka akses perempuan tani ke pasar. Tapi semua ini hanya mungkin jika ada niat politik yang eksplisit untuk membangun dengan perspektif kesetaraan.
Seratus hari pertama adalah fondasi. Masih ada waktu lima tahun ke depan untuk membuktikan bahwa pembangunan Banten bukan hanya soal aspal, angka, dan seremoni.
Tapi tentang siapa yang merasa dilibatkan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang terus-menerus dilupakan.
Untuk itu, Gubernur Andra Soni harus berani menempatkan gender bukan sebagai lampiran, tapi sebagai kerangka utama. Jika tidak, maka pembangunan yang kita rayakan hari ini akan menjadi narasi timpang yang menyisakan banyak luka diam di balik program-programnya yang megah.***
Ditulis Oleh: Raden Siska Marini, Founder Ruang Aman