NUSAKATA.COM – Mempertanyakan keseriusan negera dalam rekognisi, afirmasi, fasilitasi, dan integrasi pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional. Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII) menilai RUU Sisdiknas ini berpotensi melemahkan posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional.
Untuk menjawab kekhawatiran itu, PB IKA PMII menggelar Seminar Nasional dan Focused Group Discussion (FGD) bertajuk “Meneguhkan Posisi Pesantren di Tengah Sentralisasi Pendidikan dalam RUU Sisdiknas”. Acara ini berlangsung pada Senin, 12 Mei 2025, di Hotel Luminor Pecenongan, Jakarta Pusat.
Dalam seminar nasional tersebut, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Basnang Sa’id, menjadi pembicara yang dimoderatori Guru Besar UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Prof Muhammad Ishom.
Basnang Sa’id menyampaikan bahwa RUU Sisdiknas membuka peluang terjadinya sentralisasi pendidikan yang bisa menggeser pesantren dari posisi strategisnya.
“Pesantren punya fungsi unik dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Jangan sampai itu dikesampingkan hanya karena regulasi baru,” tegas Basnang.
RUU Sisdiknas dianggap belum memberikan jaminan hukum yang memadai untuk menjaga peran pendidikan pesantren.
Basnang menuturkan, jika pemerintah ingin mengintegrasikan pendidikan pesantren ke dalam sistem nasional, maka harus dilakukan dengan memperkuat, bukan menyingkirkan.
UU No. 18 Tahun 2019 Belum Dievaluasi
Basnang menyinggung keberadaan UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional dan memiliki tiga fungsi utama: pendidikan, dakwah, serta pemberdayaan masyarakat.
Namun, Basnang menyayangkan belum adanya evaluasi komprehensif terhadap pelaksanaan UU tersebut.
Padahal, evaluasi itu penting untuk memastikan bahwa pesantren tetap berdaya dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman.
Sentralisasi Pendidikan Dinilai Tak Sesuai
Para peserta diskusi juga mengkritik arah sentralisasi dalam RUU Sisdiknas. Mereka menyebut langkah tersebut berpotensi mengabaikan keragaman model pendidikan yang telah lama hidup di tengah masyarakat, termasuk pesantren.
Pesantren selama ini menjalankan sistem pendidikan berbasis tradisi keislaman dan lokalitas.
Mulai dari pengajaran kitab kuning, pendidikan diniyah, hingga muadala semuanya memiliki struktur dan pendekatan yang khas. Bila dipaksakan mengikuti satu pola nasional, maka kekhasan itu bisa hilang.
Penjaga Tradisi, Penopang Peradaban
“Pesantren bukan hanya institusi pendidikan. Sejak abad ke-14, pesantren telah berperan sebagai pusat pembentukan karakter, penyebaran Islam moderat, hingga basis perlawanan terhadap penjajahan,” katanya.
Lebih lanjut, Basnang mengatakan Tokoh-tokoh seperti KH Hasyim Asy’ari dan Pangeran Diponegoro muncul dari rahim pesantren. Mereka bukan hanya pendidik, tetapi juga pemimpin perjuangan.
Karena itu, menurut Basnang, menyingkirkan pesantren dari sistem pendidikan sama saja dengan mencabut akar sejarah bangsa.
RUU Sisdiknas tak boleh mengabaikan realitas sosial dan historis pesantren. Regulasi pendidikan masa depan harus inklusif dan mengakomodasi semua model pendidikan, termasuk pesantren.
Seminar yang digelar PB IKA PMII menjadi alarm keras bagi pembuat kebijakan. Pesantren harus tetap menjadi garda depan pendidikan karakter dan spiritualitas bangsa.
Dengan komitmen kuat dan dukungan regulasi yang tepat, pesantren diyakini tetap mampu mencetak generasi berakhlak mulia, berilmu, dan siap menghadapi tantangan zaman.***