NUSAKATA.COM – Angka kecelakaan kerja di pabrik-pabrik Indonesia makin mengkhawatirkan. Misalnya pada Januari 2024 lalu, seorang pekerja pabrik furnitur di Gresik tewas mengenaskan akibat serpihan kayu terbang saat ia hendak memotong bahan baku.
Di Sulawesi Tengah, ledakan demi ledakan menghantam pabrik pengolahan nikel PT IMIP—termasuk insiden Oktober 2024 di PT Dexin Steel dan ZTE—yang menelan puluhan korban tewas dan luka.
Tragedi-tragedi ini terulang berkali-kali, bahkan saat aturan K3 telah diatur. Data resmi Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sepanjang 2024 ada 462.241 kasus kecelakaan kerja di seluruh sektor, sebagian besar terjadi pada pekerja penerima upah.
Fakta ini mencuatkan pertanyaan besar: mengapa regulasi keselamatan kerja yang ada nyaris tak berdaya menghalau musibah? Para pejabat pun tak menampik masalah ini.
Kementerian berencana merevisi Undang-Undang Keselamatan Kerja (UU No. 1/1970) karena tingginya klaim kecelakaan kerja.
Namun kenyataannya, undang-undang lama tersebut memiliki sanksi yang sangat rendah dan mekanisme yang tak memadai.
Begitu pula kewajiban membentuk panitia pembina K3 di perusahaan (sebagaimana diamanatkan UU) sulit dijalankan nyata di lapangan.
Semua ini bermuara pada lemahnya implementasi. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bahkan menyatakan bahwa meningkatnya angka kecelakaan menunjukkan perlunya peningkatan pengawasan hingga tingkat daerah.
Pakar K3 Tan Malaka mengingatkan bahwa laporan kecelakaan di Indonesia pun tidak lengkap—BPJS Ketenagakerjaan baru menjangkau sekitar 30% perusahaan, dan pelaporan masih manual sehingga banyak insiden tidak termonitor.
Hal ini berarti angka resmi kecelakaan kerja mungkin jauh lebih besar dari yang terdata.
Di sisi lain, semakin banyak pabrik berdiri, namun tata kelola K3 tidak diikuti dengan tindakan preventif. Korbannya tidak lagi sekadar angka statistik.
Tren Asia mencatat sejak 2015 hingga 2023 terjadi 93 kecelakaan kerja di smelter nikel di Indonesia, termasuk ledakan Desember 2023 di Morowali yang menewaskan 21 orang.
SBIPE Morowali (serikat pekerja) mengecam minimnya pertanggungjawaban perusahaan atas insiden tersebut.
Walhi Sulawesi Tengah dan LSM lokal lainnya bahkan menuntut audit keselamatan kerja menyeluruh di kawasan IMIP, karena dalam dua tahun terakhir tercatat sekitar 300 kecelakaan (ringan hingga berat) yang menewaskan 31 buruh.
Semua contoh ini menunjukkan bahwa masalah K3 bukan sekadar kecelakaan tunggal, tetapi kegagalan sistemik dalam menegakkan regulasi.
Ketua KSPI Said Iqbal menegaskan bahwa serikat tidak anti investasi, tetapi menolak lemahnya perlindungan terhadap pekerja.
Ia menuntut agar pemerintah bertindak tegas: mewajibkan setiap perusahaan membentuk panitia pembina K3 yang melibatkan perwakilan pekerja, serta memastikan ketersediaan alat keselamatan kerja sebagai syarat perizinan investasi.
Demikian pula SBIPE Morowali mendesak adanya audit independen yang melibatkan serikat buruh ketika kecelakaan terjadi.
Suara dan pengawasan pekerja di pabrik perlu menjadi bagian integral dari pengendalian K3—bukan hanya penegakan hukum dari atas.
Banyak pihak juga menekankan strategi yang berpusat pada pekerja: memperkuat budaya keselamatan di tingkat pabrik melalui pelatihan rutin dan komunikasi bahaya oleh perusahaan, sekaligus melindungi buruh yang melaporkan kondisi tidak aman.
Keterlibatan organisasi kemasyarakatan pun dinilai penting sebagai pengawas eksternal. Misalnya, tuntutan Walhi dan Jaringan Advokasi Tambang untuk audit K3 di IMIP mencerminkan peran aktif masyarakat sipil dalam mengisi kekosongan pengawasan.
Kombinasi pengawasan ketat pemerintah, transparansi data, dan partisipasi aktif pekerja diyakini dapat menutup celah yang selama ini dimanfaatkan oleh perusahaan yang abai.
Rekomendasi kebijakan ke depan harus mengedepankan solusi berbasis partisipasi dan realitas lapangan. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:
Mewajibkan pembentukan Panitia Pembina K3 di tiap perusahaan, sesuai amanat UU, dengan kehadiran serikat pekerja sebagai anggota aktif.
Memperkuat pelatihan K3 dan ketersediaan alat pelindung diri di pabrik, sehingga keselamatan menjadi budaya kerja sehari-hari.
Meningkatkan kapasitas pengawas ketenagakerjaan: menambah jumlah inspektur, melakukan audit lapangan rutin, serta menjamin transparansi data kecelakaan.
Mensosialisasikan dan mengevaluasi ulang Undang-Undang Keselamatan Kerja agar sanksi pelanggaran lebih keras serta berorientasi pada pencegahan, bukan sekadar administrasi.
Melibatkan aktif organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh dalam mekanisme pelaporan dan investigasi kecelakaan.
Kesimpulannya, keselamatan pekerja di pabrik bukan tanggung jawab yang bisa ditunaikan hanya melalui regulasi dari atas.
Data dan kasus nyata membuktikan bahwa tanpa partisipasi aktif buruh dan pengawasan nyata di lapangan, kecelakaan kerja akan terus berulang.
Pendekatan yang memberdayakan pekerja, serikat, dan masyarakat menjadi kunci agar aturan K3 tidak hanya menjadi formalitas, melainkan benar-benar menjamin keselamatan di setiap lini pabrik.***
Ditulis oleh :
Rosdewana Panjaitan (Mahasiswa).
Angga Rosidin (Dosen Pembimbing).
Zakaria Habib Al-Ra’zie (Kaprodi). Program Studi Administrasi Negara Universitas Pamulang Kampus Serang.