NUSAKATA.COM — Rencana pembangunan empat batalyon teritorial baru di Provinsi Aceh menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Muda Seudang Bireuen.
Organisasi kepemudaan ini menyuarakan kekhawatiran bahwa kehadiran batalyon tambahan justru berpotensi membangkitkan trauma lama masyarakat yang masih dibayangi oleh sejarah konflik bersenjata puluhan tahun silam.
Sarwalis, Wakil Bidang Kajian Ideologi dan Kebijakan Publik DPW Muda Seudang Bireuen, menyatakan bahwa penolakan terhadap rencana ini bukan karena sikap anti terhadap pertahanan nasional, melainkan karena pentingnya menjaga semangat damai yang telah dibangun dengan susah payah melalui perjanjian Helsinki.
“Perdamaian yang sejati tidak dibangun di atas bayang-bayang laras senjata, tapi melalui keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan perlindungan hak-hak masyarakat sipil,” ujar Sarwalis dalam keterangan tertulisnya.
Trauma Sejarah Masih Membekas
Aceh menyimpan luka dalam akibat konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Ribuan nyawa melayang, dan pelanggaran hak asasi manusia seperti penghilangan paksa, penyiksaan, serta pembunuhan di luar hukum, tercatat oleh Komnas HAM sebagai bagian dari babak kelam sejarah Aceh.
Kehadiran militer dalam jumlah besar, menurut Sarwalis, bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga mengingatkan masyarakat pada pengalaman represif masa lalu. “Rencana ini dikhawatirkan akan membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh,” tambahnya.
MoU Helsinki: Janji yang Harus Ditepati
DPW Muda Seudang juga menyoroti keberadaan nota kesepahaman damai (MoU Helsinki) yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Salah satu poin penting dalam perjanjian tersebut adalah pembatasan jumlah personel militer di Aceh, yakni maksimal 14.700 personel TNI untuk fungsi teritorial dan 2.500 personel non-organik untuk waktu terbatas.
“Jika pembangunan batalyon baru mengimplikasikan penambahan pasukan di luar batas yang telah disepakati, maka itu mencederai semangat damai yang sudah dirawat selama hampir dua dekade,” tegas Sarwalis.
Fokus Seharusnya pada Kesejahteraan
DPW Muda Seudang menilai bahwa kebutuhan utama masyarakat Aceh saat ini adalah perbaikan ekonomi, bukan perluasan kekuatan militer. Berdasarkan data BPS Aceh tahun 2023, tingkat pengangguran terbuka di provinsi ini masih mencapai 6,11%, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Ketimpangan sosial dan minimnya lapangan kerja menjadi isu nyata yang perlu mendapat perhatian lebih besar dari pemerintah.
“Pembangunan yang kami butuhkan adalah ekonomi rakyat, infrastruktur sipil, serta pemberdayaan pemuda. Bukan pembangunan militer,” kata Sarwalis.
Ajakan untuk Tidak Mengulangi Sejarah
Sebagai penutup, DPW Muda Seudang menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, akademisi, dan pengambil kebijakan untuk tidak mengulangi sejarah pahit Aceh. Mereka menekankan pentingnya membangun keamanan melalui kepercayaan, bukan intimidasi.
“Damai itu mahal. Trauma masa lalu tidak bisa disembuhkan dengan kekuatan militer. Yang dibutuhkan Aceh adalah keadilan, bukan ancaman senjata,” pungkas Sarwalis.