Menu

Mode Gelap
 

Revisi UU TNI dan Relasi Kuasa : Antara Sejarah dan Dinamika Politik Hari Ini

- Nusakata

17 Mar 2025 18:42 WIB


					Penulis: Faiz Naufal Alfarisi* Perbesar

Penulis: Faiz Naufal Alfarisi*

NUSAKATA.COM – Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah menjadi polemik di ruang publik.

Substansi perubahan yang mencakup perluasan penugasan militer di institusi sipil, perpanjangan masa dinas aktif, serta keterlibatan TNI dalam tugas-tugas non-militer, menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya relasi sipil-militer yang tidak sehat.

Mengingat sejarah panjang peran militer dalam politik Indonesia, revisi ini perlu dikaji secara kritis dalam konteks demokrasi hari ini.

Dinamika Sejarah Relasi Sipil-Militer

Sejak masa Orde Lama, militer memiliki posisi strategis dalam politik Indonesia. Peran TNI semakin menguat pada era Orde Baru melalui konsep Dwifungsi ABRI, yang memberikan ruang bagi tentara untuk menduduki posisi di lembaga sipil.

Struktur ini memungkinkan militer berperan tidak hanya sebagai penjaga keamanan negara tetapi juga sebagai aktor politik dan birokrasi.

Reformasi 1998 menjadi titik balik dalam membatasi keterlibatan militer dalam ranah sipil. Lahirnya UU TNI Tahun 2004 menegaskan pemisahan tegas antara peran militer dan sipil, dengan membatasi posisi yang dapat diisi oleh prajurit aktif dan memperkuat supremasi sipil atas militer.

Sejak saat itu, TNI lebih difokuskan pada fungsi pertahanan negara, sementara urusan sipil dikelola oleh pemerintahan yang dipilih secara demokratis.

Politik Hari Ini: Revisi UU TNI dan Tantangan Demokrasi

Dalam konteks politik saat ini, revisi UU TNI tampaknya menandai adanya dinamika baru dalam relasi sipil-militer.

Beberapa poin revisi yang diusulkan, seperti perluasan penugasan prajurit TNI aktif di instansi sipil dan perpanjangan masa dinas, berpotensi mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil.

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa perubahan ini bertujuan untuk mengoptimalkan sumber daya manusia TNI dalam mendukung pembangunan nasional.

Namun, kekhawatiran muncul dari kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis demokrasi yang melihat adanya potensi kembalinya pengaruh militer dalam pemerintahan sipil, seperti era pra-Reformasi.

Jika revisi ini disahkan tanpa pengawasan yang ketat, kita mungkin akan melihat semakin banyak pejabat sipil berasal dari kalangan militer, yang bisa mengganggu keseimbangan demokrasi.

Perpanjangan masa dinas juga bisa memperlambat regenerasi kepemimpinan dalam tubuh TNI, yang pada akhirnya berdampak pada profesionalisme dan modernisasi militer.

Menjaga Profesionalisme TNI dan Demokrasi

Militer yang profesional adalah militer yang fokus pada pertahanan negara, bukan yang terlibat dalam dinamika politik atau pemerintahan sipil.

Revisi UU TNI harus memastikan bahwa prinsip ini tetap dijaga. Pembahasan kebijakan ini tidak boleh dilakukan secara tertutup, apalagi di tempat yang eksklusif, seperti yang terjadi dalam rapat Panitia Kerja DPR di Hotel Fairmont Jakarta baru-baru ini.

Keterlibatan publik, akademisi, dan masyarakat sipil dalam revisi ini sangat penting agar tidak terjadi kemunduran demokrasi.

Pemerintah dan DPR harus menjamin bahwa perubahan regulasi ini tidak membuka celah bagi kebangkitan Dwifungsi ABRI dalam bentuk baru.

Sejarah telah mengajarkan bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan keseimbangan antara kekuatan sipil dan militer.

Reformasi 1998 telah memberikan pelajaran berharga, dan kita tidak boleh kembali ke masa di mana militer memiliki pengaruh dominan dalam politik dan pemerintahan sipil.

Jika revisi ini tidak dikawal dengan baik, kita bisa menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan demokrasi yang telah kita bangun bersama.

Kesimpulan

Revisi UU TNI harus menjadi momentum untuk memperkuat supremasi sipil atas militer, bukan sebaliknya.

Negara yang demokratis adalah negara yang menjadikan militer sebagai alat pertahanan, bukan sebagai pemain politik.

Oleh karena itu, diskusi mengenai revisi ini harus melibatkan publik secara luas agar keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan kepentingan demokrasi, bukan sekadar kepentingan elit tertentu.

Indonesia telah berjalan jauh sejak Reformasi 1998. Jangan biarkan langkah mundur terjadi hanya karena kepentingan sesaat.

*Ditulis Oleh: Faiz Naufal Alfarisi. Koordinator Umum NPK-Indonesia.

Baca Lainnya

Calon Sekretaris Daerah Pandeglang Banyak Dipertanyakan

30 June 2025 - 12:54 WIB

DEMA UIN SMH Banten Gelar Diskusi Publik: “Pemakzulan Gibran — Jalan Konstitusional Atau Manuver Politik?”

25 June 2025 - 17:04 WIB

KNPI Pandeglang Desak KPK Usut Tuntas Temuan BPK, Ungkap Kerugian Negara Rp37 Miliar Lebih

25 June 2025 - 09:03 WIB

BEM Nusantara Wilayah Banten Resmi Dikukuhkan, Soroti Peran Mahasiswa dalam Sektor Pendidikan

22 June 2025 - 08:55 WIB

Banyak Penulis Berbakat, Tapi Tak Sekuat JK

21 June 2025 - 10:14 WIB

Dari Ujung Selatan Pimpin KNPI Pandeglang

20 June 2025 - 22:55 WIB

Trending di Daerah