NUSAKATA.COM – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa pemerintah tengah menyusun undang-undang yang mengatur pemulangan narapidana atau transfer of prisoners.
Dalam keterangan pers Kemenko Kumham Impas yang dilansir Sabtu (8/3/2025), Yusril menyatakan bahwa rancangan undang-undang terkait pemindahan narapidana masih dalam tahap persiapan. Hingga kini, dasar hukum pemindahan tersebut masih bergantung pada hubungan baik dengan negara lain dan prinsip kemanusiaan.
Saat menjadi pembicara dalam seminar nasional bertajuk Pemulangan Narapidana dalam Kajian Hukum Internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) secara virtual pada Jumat (7/3/2025), Yusril membahas aspek mendasar dalam pemulangan narapidana dari perspektif hukum internasional maupun kemanusiaan.
Menurut Yusril, pemindahan narapidana didasarkan pada beberapa hal penting, termasuk hubungan diplomatik antarnegara, nilai-nilai kemanusiaan, serta prinsip bahwa hukuman mati tidak lagi diterapkan di negara asal terpidana.
“Pemulangan narapidana merupakan bagian dari hubungan baik dengan negara lain. Namun, yang lebih utama adalah memastikan bahwa proses ini tetap mengedepankan prinsip kemanusiaan,” ujar Yusril.
Ia menambahkan bahwa proses transfer of prisoners dilakukan berdasarkan kesepakatan antara kedua negara. Negara asal narapidana harus mengakui vonis yang dijatuhkan di Indonesia dan hanya menerima sisa masa hukuman yang belum dijalani, kecuali untuk hukuman mati.
“Banyak negara kini telah mengkaji kembali hukuman mati, yang dalam beberapa kasus bisa diubah, terutama jika terpidana menunjukkan perilaku baik dan telah menjalani hukuman minimal 10 tahun,” jelasnya.
Selain itu, Yusril mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia sedang menyiapkan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait hukuman mati.
“Saat ini, sistem peradilan pidana kita tidak lagi berorientasi pada efek jera semata, tetapi lebih menekankan pada prinsip keadilan restoratif,” ungkapnya.
Meski demikian, Yusril mengakui bahwa pemindahan narapidana dapat menimbulkan tantangan hukum, termasuk potensi celah hukum yang memungkinkan pengurangan hukuman bagi terpidana di negara asal.
Sebagai contoh, ia menyebut kasus Mary Jane, di mana pemerintah Filipina memberikan akses kepada Kedutaan Besar Indonesia untuk memantau perkembangan kasusnya dalam skema transfer of prisoners.
Menutup pernyataannya, Yusril menegaskan bahwa meskipun masih terdapat tantangan hukum dan prosedural, pemulangan narapidana tetap menjadi bagian penting dari diplomasi internasional Indonesia.
“Kami akan terus memperjuangkan kerja sama yang saling menguntungkan, dengan tetap mengutamakan prinsip hak asasi manusia dan keadilan,” pungkasnya.