Menu

Mode Gelap
 

Politik Oplosan

- Nusanews.co

4 Mar 2025 02:21 WIB


					Politik Oplosan Perbesar

Kepemimpinan politik selalu menjadi sorotan utama dalam setiap perhelatan politik, tak terkecuali di Indonesia. Setiap kali musim Pilkada datang, media massa baik cetak, elektronik, maupun sosialselalu mengangkat figur-figur yang digadang-gadang akan menjadi pemimpin masa depan. Namun, seringkali yang kita temui bukanlah pemimpin yang benar-benar memiliki integritas dan visi kebangsaan yang kokoh, melainkan politikus yang lebih fokus pada kekuasaan dan pengaruh semata.

Setelah pilkada usai, realitas politik yang kita saksikan seringkali menunjukkan betapa politik lebih banyak dikuasai oleh kalkulasi kekuasaan dibandingkan semangat untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Proses Pilkada, yang seharusnya menjadi arena bagi pemilihan pemimpin yang benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat, terkadang terjebak dalam praktik politik yang lebih mengutamakan strategi kekuasaan, uang, dan patronase daripada ide-ide kebijakan yang pro-rakyat.

Di tengah riuhnya dinamika politik pasca-pilkada, kita sering terjebak dalam wacana yang tidak produktif. Isu-isu yang seharusnya bisa membuka ruang untuk diskusi yang lebih sehat dan konstruktif, justru seringkali terfokus pada hal-hal yang tidak esensial, seperti latar belakang suku, agama, hingga ras seorang pemimpin. Padahal, Indonesia sebagai negara dengan keberagaman yang sangat kaya telah menjadikan pluralisme sebagai salah satu landasan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun dalam praktiknya, wacana semacam ini seringkali mendorong objektivitas dan mengarah pada pemilihan pemimpin berdasarkan identitas semata, bukan pada kapasitas dan visi kebangsaan yang jelas.

Ironisnya, pasca-Pilkada, politik Indonesia banyak dikuasai oleh politisi yang lebih menekankan penguatan kekuasaan mereka dibandingkan dengan pengabdian kepada negara. Politikus sering kali terjebak dalam politik oplosanpolitik yang sarat dengan intrik, kepentingan pribadi, dan manipulasi demi kekuasaan.

Padahal seharusnya politik berfungsi untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menciptakan kebijakan yang pro-rakyat, bukan sebagai ajang bagi elit politik untuk memperkuat jaringannya.

Pemimpin yang terpilih melalui proses Pilkada seringkali lebih berorientasi pada penguasaan kekuasaan dibandingkan pada visi untuk membangun bangsa. 

Banyak politisi yang lebih cenderung memainkan peran sebagai broker kekuasaan, yang mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, daripada menjadikan persahabatan sebagai pijakan utama dalam setiap kebijakan yang mereka buat. Akibatnya, banyak kebijakan yang dihasilkan tidak memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat, dan justru memperlebar kesenjangan sosial.

Kondisi ini semakin jelas terlihat ketika kita menyaksikan betapa sulitnya masyarakat mendapatkan pemimpin yang benar-benar memiliki integritas, visi kebangsaan yang kuat, serta komitmen untuk memajukan kesejahteraan rakyat.

Politikus, yang terlalu sering mencetak keuntungan pribadi dalam sistem politik, telah mengabaikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. Dengan kata lain, politik Indonesia saat ini lebih banyak disuguhi dengan “oplosan” antara kekuasaan dan uang, yang adil adalah ketidakadilan dan ketidakadilan sosial.

Namun, meskipun situasi ini terlihat suram, muncul harapan dari unsur-unsur masyarakat sipil, media, dan sarjana yang mulai mendorong perubahan. Masyarakat kini semakin kritis dalam menyikapi dinamika politik yang ada. Masyarakat sipil, media, serta akademisi memainkan peran penting dalam menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pemimpin yang memiliki visi, kebangsaan, dan komitmen untuk mengedepankan kepentingan rakyat.

Mereka mendesak agar politik Indonesia tidak lagi hanya menghasilkan politikus, tetapi juga pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan nyata bagi bangsa.

Perubahan ini tentu tidak mudah, karena sistem politik yang ada sudah mengakar kuat. Namun, dengan adanya gerakan dari berbagai elemen masyarakat yang mendesak perubahan, kita dapat berharap bahwa kedepannya, Indonesia akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya berwawasan, tetapi juga berkarakter, penuh integritas, dan memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa.

Sebagai wacana yang beredar tentang siapa yang layak memimpin latar belakang suku, agama, atau rasharus diganti dengan wacana yang lebih konstruktif. Wacana yang berbicara tentang kepemimpinan yang mengutamakan kebangsaan dan persatuan, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, kita akan memiliki pemimpin sejati yang mampu membawa perubahan positif bagi Indonesia, bukan sekadar politikus yang hanya mengejar kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Ya, Politik pasca-Pilkada adalah refleksi dari bagaimana kita sebagai bangsa memandang kepemimpinan. Di satu sisi, kita dihadapkan pada kenyataan politik oplosan yang sering kali memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu. Namun, di sisi lain, ada harapan besar untuk perubahan yang lebih baik.

Masyarakat yang semakin kritis dan bergerak untuk mengubah wacana politik yang fokus pada kebangsaan, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat, menjadi titik terang di tengah kegelapan politik yang terjebak dalam intrik dan permainan kekuasaan.

Kepemimpinan Gubernur Terpilih 

Dalam dunia politik, ada banyak hal yang sering kali menjadi misteri. Sosok pemimpin yang tiba-tiba muncul dengan karisma yang menggetarkan, hingga wacana-wacana yang dibangun sedemikian rupa untuk mempengaruhi opini publik. 

Politik pada dasarnya adalah permainan kekuasaan yang tak pernah lepas dari intrik, strategi, dan tentu saja, kepemimpinan. Namun, apakah setiap pemimpin politik benar-benar layak disebut sebagai pemimpin? Ataukah mereka hanyalah politikus yang pandai bermain kata-kata?

Fenomena kepemimpinan politik yang baru saja kita saksikan di Indonesia, seperti di Pilkada Jawa Timur yang melahirkan Khofifah Indar Parawansa, atau Pilkada Jawa Barat yang melahirkan Dedi Mulyadi, kembali menunjukkan bahwa karisma seringkali menjadi faktor utama dalam memenangkan hati publik.

Mereka memiliki pengikut yang fanatik, dan dengan segala citra yang mereka bangun, seolah mampu mempengaruhi massa. Namun, setelah terpilih, tantangan terbesar bagi mereka adalah apakah mereka benar-benar bisa membuktikan kemampuan kepemimpinannya, ataukah mereka hanya sekedar politisi yang pandai berbicara di depan publik.

Namun, ada satu nama yang juga mencuri perhatian dalam konteks politik lokal, yaitu Andra Soni dari Banten. Andra tampil sebagai sosok yang memiliki karisma yang kuat dan pendekatan yang sangat dekat dengan masyarakat. Ia dikenal aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan memiliki kedekatan dengan masyarakat Banten.

Setelah terpilih, Andra Soni memiliki tantangan besar untuk membuktikan bahwa kepemimpinannya bukan sekadar citra belaka, tetapi juga menciptakan perubahan nyata. Akankah ia mampu membawa kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat, ataukah politik oplosan yang sering mempengaruhi jalur-jalur kepemimpinan di Indonesia kembali menjadi kenyataan?

Karisma memang menjadi modal utama bagi banyak pemimpin politik. Namun, karisma saja tidak cukup. Seorang pemimpin, seperti halnya yang terjadi pada pemilihan gubernur, harus diuji oleh kebijakan-kebijakan yang diambilnya, yang pada akhirnya berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Apakah para pemimpin ini bisa menerjemahkan janji-janji kampanye mereka menjadi kebijakan yang jelas, terukur, dan bermanfaat bagi rakyat?

Ambil contoh Pramono Anung, yang pada masa lalu menjadi Menteri Sekretaris Negara dan sempat digadang-gadang sebagai calon pemimpin masa depan.

Namun, tantangannya kini adalah apakah ia bisa membawa pembaruan nyata di wilayah yang dipimpinnya? Apakah ia akan mengutamakan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat, ataukah hanya terjebak dalam permainan politik yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu?

Dedi Mulyadi, yang dikenal sebagai politisi yang sangat dekat dengan masyarakat di Jawa Barat, juga menjadi contoh lain. Dedi, yang selama ini dikenal dengan gaya politik “blusukan” dan sering turun langsung ke lapangan, mampu memenangkan hati banyak orang. Namun, setelah terpilihnya gubernur, pertanyaannya adalah: apakah pendekatan yang selama ini digunakan mampu menjadi solusi bagi permasalahan sosial dan ekonomi yang ada di Jawa Barat? 

Apakah ia akan mampu membuat kebijakan yang lebih inklusif dan pro-rakyat, atau hanya terjebak dalam politik jangka pendek yang fokus pada kepentingan pribadi dan kelompok?

Pemimpin atau Politikus?

Di Indonesia, khususnya setelah Pilkada, seringkali kita melihat bahwa politik lebih banyak menghasilkan politikus daripada pemimpin sejati. Politikus sering kali lebih cenderung fokus pada kepentingan pribadi atau golongan mereka, sementara pemimpin sejati seharusnya memiliki visi kebangsaan yang lebih besar dan berkomitmen pada kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks ini, kita bisa bertanya-tanya, apakah Pramono Anung, Khofifah Indar Parawansa, Dedi Mulyadi, Ahmad Lutfi, dan Andra Soni akan mampu menjadikan politik sebagai alat untuk memperjuangkan kemajuan bangsa, ataukah mereka hanya akan terjebak dalam politik yang menguntungkan diri sendiri dan kelompok mereka sendiri?

Wacana-wacana tentang siapa yang layak memimpin, yang selama ini sering kali diwarnai oleh isu-isu identitas seperti suku, agama, atau ras, harus mulai digeser menjadi wacana yang lebih konstruktif. Wacana yang berbicara tentang kepemimpinan yang mengutamakan kebangsaan, persatuan, serta kesejahteraan rakyat.

Jika ini bisa tercapai, kita akan melihat pemimpin yang mampu membawa Indonesia menuju masa depan sejati yang lebih baik, bukan sekadar politikus yang hanya mengejar kekuasaan dan keuntungan pribadi.

Ya, kepemimpinan pasca-Pilkadabaik di Jawa Timur, Jawa Barat, atau di wilayah lain harus benar-benar diuji oleh kebijakan yang diambil dan dampaknya terhadap masyarakat. Para gubernur terpilih seperti Pramono Anung, Khofifah Indar Parawansa, Dedi Mulyadi, Ahmad Lutfi, dan Andra Soni, harus membuktikan bahwa mereka bukan sekedar politikus yang pandai berbicara, namun para pemimpin yang siap membawa perubahan nyata.

Wacana yang fokus pada karisma semata harus digeser menjadi wacana yang lebih konstruktif, berbicara tentang visi kebangsaan, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa Indonesia akan dipimpin oleh pemimpin sejati, bukan politikus yang hanya mengejar kekuasaan semata.

Pemimpin Politik Sejati 

Politik, dalam segala kompleksitasnya, memang tak bisa dilepaskan dari tarik-ulur kepentingan dan kekuasaan. Tetapi dibalik segala intrik dan transaksi itu, ada harapan besar yang tersembunyi harapan akan pemimpin yang bukan sekadar politikus, tetapi pemimpin sejati. Mereka yang tidak hanya pandai bermain kata-kata, tetapi mampu mewujudkan visi mereka menjadi tindakan nyata.

Kita hidup di zaman yang penuh dengan tantangan, di mana politik sering kali diracuni oleh kepentingan saat ini dan oplosan politik yang merugikan banyak pihak.

Namun, kita tidak boleh terjebak dalam gangguan itu. Kita memiliki kekuatan untuk menciptakan wacana baruwacana yang mengedepankan kebangsaan, persatuan, dan kesejahteraan rakyat. Dengan cara itu, kita akan menemukan pemimpin yang tidak hanya menjanjikan perubahan, namun benar-benar mampu mewujudkannya.

Sebagai masyarakat, kita harus lebih kritis terhadap setiap wacana yang beredar, mengingat bahwa wacana adalah alat yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini masyarakat. Jangan biarkan politik identitas atau politik oplosan menjadi satu-satunya hal yang kita nilai dalam memilih pemimpin.

Pilihlah pemimpin yang memiliki visi untuk masa depan, yang mampu mengubah kenyataan, dan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi.

Pada akhirnya, politik adalah tentang kita semua rakyat yang hidup bersama dalam negara ini, dengan mimpi dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Mungkin, politik yang kita inginkan belum sepenuhnya hadir saat ini, namun bukan berarti tidak mungkin. Perubahan itu dimulai dari langkah kecil, dari pemimpin yang berintegritas dan rakyat yang tidak pernah lelah berjuang demi keadilan dan kesejahteraan. 

Di dunia yang terus berubah, harapan untuk menemukan pemimpin sejati, yang mengutamakan kemanusiaan di atas segalanya, tetaplah ada.

Kita hanya perlu memastikan bahwa kita tidak terjebak dalam politik oplosan yang hanya memperkaya segelintir orang, namun tetap berjalan menuju pemimpin yang sesungguhnya, pemimpin yang bisa membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.***

Tentang penulis:

BUNG EKO SUPRIATNO

Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA) 

Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Uiversitas Mathlaul Anwar Banten.

Baca Lainnya

Mahasiswa KKN UGM Terlibat Kecelakaan Long Boat di Maluku Tenggara, Satu Orang Dilaporkan Meninggal

1 July 2025 - 22:34 WIB

Calon Sekretaris Daerah Pandeglang Banyak Dipertanyakan

30 June 2025 - 12:54 WIB

PC IPNU IPPNU Pandeglang Gelar Turba Ke-4 di Kecamatan Cisata, Perkuat Sinergi Organisasi Pelajar NU

29 June 2025 - 19:49 WIB

Kasus Gagal Studi Tour SMAN 1 Wanasalam: 5 Tahun Tanpa Kejelasan, Alumni Desak Pengembalian Dana

29 June 2025 - 17:33 WIB

Singgung Ratusan Siswa Tak Lancar Baca di Bali, PD PAFI Gelar Seminar Hypnoparenting

28 June 2025 - 18:24 WIB

Presiden LIRA Andi Syafrani Soroti Satgas Ormas Bermasalah

28 June 2025 - 17:54 WIB

Trending di Daerah