NUSAKATA.COM – Suatu kali, ada seorang pendeta yang sedang ceramah di dalam gereja dan di depan jemaatnya. Pendeta itu menggunakan lelucon-leucon yang dianggap konyol dalam ritual agama Islam. Sang pendeta dan jemaatnya terbahak bersama.
Lain waktu, dalam sebuah acara tabligh akbar yang dihadiri oleh umat Islam, seorang penceramah mengutip isi Injil yang menurutnya lucu. Lalu sang penceramah dan para jamaah pun terbahak bersama. Menertawakan Injil.
Kerap kali, ketika seseorang berada dalam sebuah komunitas yang homogen, misalnya seiman, seprofesi, semadzhab, atau seorganisasi, kerap melontarkan guyon-guyon tentang perilaku komunitas di luar mereka yang dianggap lucu dan mengundang tawa.
Di acara NU yang seluruh pesertanya orang NU, kadang muncul guyonan tentang orang Muhammadiyah yang menurut mereka lucu. Pun sebaliknya, di internal Muhammadiyah, kadang mereka menggunakan ritual orang NU sebagai bahan guyonan.
Guyonan yang hanya untuk konsumsi internal dan terbatas tersebut, juga sering terjadi dalam komunitas-komunitas lain. Walaupun, menggunakan perkara konyol dalam komunitas lain sebagai bahan lelucon itu sejatinya kurang elok.
Kalau mau jujur-jujuran, kita dan kawan-kawan yang satu circle juga kerap menertawakan orang lain yang berbeda dan di luar komunitas kita. Namun selama ini peristiwa seperti itu tidak menjadi masalah.
Guyonan dalam bingkai โpada urangna baeโ ini, dalam konteks tertentu kadang menjadi amunisi dan penyemangat untuk semakin mengeratkan soliditas dalam menghadapi kompetisi dan atau persaingan.
Selama objek guyonan itu tidak โbocorโ keluar, maka guyonan yang bisa jadi sensitif bagi komunitas di luarnya, aman-aman saja dan tidak menjadi masalah. Guyonan itu menjadi masalah ketika dikonsumsi oleh mereka yang berada di luar komunitasnya.
Seperti halnya yang baru saja terjadi. Dalam sebuah acara yang homogen -Pengukuhan Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang dihadiri oleh kader PMII- Cak Imin yang notabene alumni PMII melontarkan sebuah guyonan.
Di tengah sambutannya, dia menyampaikan seloroh bahwa โEnggak ada (kader) PMII itu enggak tumbuh dari bawah. Kalau ada yang tumbuh tidak dari bawah, itu bukan (kader) PMII. Itu (kader) HMIโ.
Celoteh yang disampaikan dengan nada seloroh itu, menuai tawa dari hadirin. Baik Cak Imin maupun yang hadir, semua memaknainya sebagai guyonan. Guyonan yang menyiratkan motivasi bagi yang hadir; bahwa kalian mesti tumbuh dari bawah.
Sebelumnya, guyonan lebih seneb pernah disampaikan oleh Gusdur menyangkut PMII dan HMI ini. Dalam sebuah acara Gusdur pernah melontarkan bahwa โUntuk mencapai tujuannya, HMI menggunakan segala cara. Sementara PMII caranya saja tidak tahuโ.
Lontaran Gusdur kala itu, dalam sesaat sempat menuai protes, khususnya dari kader HMI. Namun perlahan tensi reaksi itu menurun. Mungkin karena tahu sosok Gusdur yang memang dikenal sebagai seorang humoris. Atau jangan-jangan bentuk pengakuan bahwa pernyataan Gusdur itu ada benarnya. Nah lho..
Slepetan Cak Imin yang dilontarkan dengan nada canda dan dalam acara yang homogen itu, bocor keluar. Lalu, dhuaaarrโฆ Sebagian kader HMI ada yang blingsatan mendengar seloroh tersebut. Tidak terima karena menganggap Cak Imin melakukan penistaan.
Serapah membuncah. Muncul pernyataan sikap. Ada rencana menggeruduk tempat Cak Imin berkantor. Bahkan ada yang mengungkit perkara kardus dan duren, sebuah istilah yang berkaitan dengan kasus hukum yang membelit Cak Imin. Niat banget kan?
Saya sendiri kurang sepakat dengan reaksi yang ditunjukkan oleh sebagian kader HMI tersebut. Namun apakah dengan begitu menunjukkan bahwa loyalitas saya sebagai kader HMI terhadap HMI berkurang? Tentu tidak.
Kita sudah tahu bahwa itu terlontar dalam konteks guyon. Merespon guyon itu mesti dengan guyon. Dibawa santai saja. Sebaliknya, kalau serius direspon dengan serius. Karena bila guyon dimaknai serius, baper namanya. Lebay!
Gusdur saja yang celoteh guyonnya begitu seneb, biasa saja. Apa lagi kadar guyon Cak Imin yang begitu. Atau ini menjadi masalah jangan-jangan selain karena politisi, Cak Imin kadar โkeramatnyaโ tidak sehebat Gusdur? Bisa Jai!
Jadi, daripada menyoal seloroh Cak Imin dengan serius dalam bentuk pernyataan sikap, tuntutan meminta maaf, atau aksi geruduk -sementara persoalan bangsa yang lebih krusial begitu ngantai di depan mata- hanya akan menghabiskan energi.
Yang perlu ditingkatkan oleh sebagian kader HMI itu adalah meningkatkan selera humor, dan sering-sering ngopi. Ngopi bareng antara HMI dengan PMII. Agar ketika merespon persoalan, urat leher tetap kendur, dan bawaannya tetap santai.
Enggak usah baper, enggak usah lebay. Karena kader yang baper dan lebay itu, bisa jadi pertanda memang benar bahwa dirinya tidak tumbuh dari bawah!
***
Penulis : Ocit Abdurrosyid Siddiq (Alumni HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin IAIN SGD Bandung)